Scroll untuk baca artikel
Berita

Suluk Senen Pahingan Edisi 35: Sujiwo Tejo dan Renungan Kebangsaan

Redaksi
×

Suluk Senen Pahingan Edisi 35: Sujiwo Tejo dan Renungan Kebangsaan

Sebarkan artikel ini
Sujiwo tejo suluk senen pahingan
Budayawan Sujiwo Tejo di gelaran Suluk Senen Pahingan Edisi 35, Minggu (23/02)

Ketika giliran Sujiwo Tejo berbicara, suasana menjadi lebih santai namun tetap penuh makna. Dengan gitar di tangan, ia membawakan beberapa lagu ciptaannya yang sarat akan filosofi kehidupan.

Bukan sekadar menghibur, lagu-lagu tersebut menjadi medium baginya untuk menyampaikan pesan tentang hakikat manusia dan perjalanan spiritual.

Sujiwo Tejo menekankan bahwa problem utama bangsa ini adalah ketidakmampuan untuk benar-benar memahami diri sendiri.

“Kita selalu bertanya kepada pemimpin kita, ‘kita ini siapa, dan mau ke mana?’, tapi jawaban yang kita terima sering kali hanya sebatas janji kosong dan program populis,” ujarnya dengan nada satir.

Ia juga mengajak hadirin untuk tidak hanya terpaku pada ajaran agama dalam bentuk ayat-ayat qauliyah (tertulis), tetapi juga memahami ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda di alam semesta).

“Kita sering kali membesar-besarkan ibadah ritual, tapi melupakan esensinya. Salat itu latihan untuk menjadi manusia yang baik. Kalau benar-benar memahami maknanya, kita akan mendengarkan orang lain dengan penuh perhatian, tidak sibuk dengan gawai saat berbicara dengan sesama,” tuturnya.

Gaya bicara Sujiwo yang penuh humor dan teatrikal membuat suasana semakin hidup. Sesekali, ia melontarkan celetukan yang menyinggung isu-isu aktual, seperti kasus intimidasi terhadap grup punk Sukatani yang mengkritik institusi kepolisian.

Celetukan ini disambut tawa oleh hadirin, namun juga menyisakan renungan mendalam tentang kebebasan berekspresi di negeri ini.

KH. Ubaidillah Shodaqoh atau yang akrab disapa Mbah Ubaid, sebagai pengasuk Suluk Senen Pahingan, turut memberikan pandangannya tentang hakikat manusia. Baginya, keberadaan manusia adalah anugerah besar yang harus disyukuri.

“Setiap manusia memiliki potensi untuk naik ke alam spiritual yang lebih tinggi. Seluruh eksistensi kita adalah karena cinta Allah kepada makhluk-Nya,” paparnya.

Ia menambahkan bahwa pencapaian spiritual seseorang bergantung pada amal dan perbuatannya. “Kebaikan dalam diri kita harus diekspresikan dalam tindakan nyata. Semakin banyak kita berbuat baik, semakin tinggi pula hikmah yang bisa kita peroleh,” tambahnya.

Mbah Ubaid juga menegaskan pentingnya memahami Al-Quran tidak hanya secara tekstual, tetapi juga melalui pemahaman terhadap alam semesta.

“Kalimat ‘Kun’ (jadilah) dari Allah itu bukan sekadar teori. Semua yang ada di dunia ini adalah manifestasi dari kehendak-Nya. Maka, melihat, mendengar, dan memahami dunia adalah bagian dari membaca ayat-ayat Tuhan,” jelasnya.

Sebelumnya, Teguh Haryono, Sekjen Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Pusat sekaligus pendiri Daulat Budaya Nusantara (DBN), berbicara tentang pentingnya mempertahankan nilai-nilai budaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.