Meski, lebih dari setengah populasi global akan hidup di daerah yang kekurangan air pada tahun 2050. Akan tetapi, 73 persen orang yang terkena dampak tinggal di Asia.
BARISAN.CO – Kekeringan adalah salah satu ancaman terbesar bagi pembangun berkelanjutan terutama di negara berkembang, tetapi juga semakin meningkat di negara-negara maju. Diperkirakan, kekeringan dapat memengaruhi lebih dari tiga perempat populasi dunia di tahun 2050.
UN-Water tahun lalu menyebut, tidak ada satu negara pun yang kebal terhadap kekeringan. UNICEF juga menyampaikan, semakin banyak orang yang tinggal di daerah dengan kekurangan air ekstrem termasuk satu dari empat anak pada tahun 2040.
Kekeringan adalah bencana yang kompleks dan terjadi lambat laun dengan efek tidak langsung, namun secara bertahan dan terakumulasi dari waktu ke waktu membuatnya lebih sulit untuk dilacak dan ditangani.
Memicu kerawanan air dan efek berjenjang lainnya yang meningkatkan kerentanan. Asia Tenggara telah lama mengalami kekeringan parah yang terjadi rata-rata setiap lima tahun. Kekeringan terburuk yang terjadi selama dua dekade terjadi pada 2015 dan 2018.
Secara bersamaan memengaruhi lebih dari 70 persen wilayah daratan dengan lebih dari 325 juta jiwa terdampak. Tidak ada negara anggota ASEAN yang terhindar dari dampak buruk termasuk gangguan mata pencaharian dan ketahan pangan serta kebakaran hutan dan kabut asap.
Mengutip UN-ESCAP, kekeringan sangat dipengaruhi oleh berbagai penggerak iklim, khususnya El Nio-Souther Oscilllation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD). Terlepas dari kerumitannya, yang jelas tren menunjukkan adanya peningkatan risiko kekeringan di seluruh wilayah.
Analisis dari data dan proyeksi iklim pada edisi kedua Ready for the Dry Yeras: Building Resilience to Drought in Southeast Asia, laporam bersama United Nations Economic and Social Commision for Asia and the Pacific (ESCAP) mengungkapkan, peningkatan suhu signifikan antara tahun 1981-2020 diperkirakan akan terus berlanjut. Artinya, tingkat keparahan kekeringan akan meningkat seiring dengan semakin panasnya iklim.
Pandemi Covid-19 dan krisis alam secara bersamaan telah mengganggu kesehatan masyarakat, mata pencaharian, dan rantai pasokan di seluruh wilayah. Dampak keduanya telah menyebabkan tekanan ekonomi yang parah dan melemahkan kemampuan wilayah dalam menghadapi risiko bencana saat ini dan di masa depan.
Meski, lebih dari setengah populasi global akan hidup di daerah yang kekurangan air pada tahun 2050. Akan tetapi, 73 persen orang yang terkena dampak tinggal di Asia.
Sebuah laporan Asia Society Leadership Group bahkan memperingatkan, menurunnya akses ke pasokan air yang aman dan stabil di Asia akan berdampak besar bagi keamanan di seluruh kawasan. Itu bisa meningkatkan ketegangan dan ketidakstabilan ekonomi serta geopolitik.
Beberapa daerah di Indonesia mengalami kekurangan air bersih, seperti yang terjadi di provinsi Nusa Tenggara Timur. Aktivis lingkungan mengaitkan masalah ini dengan degradasi lingkungan di daerah tangkapan air hutan termasuk oleh perusahaan pertambangan. Sedangkan di kota-kota besar, penyebabnya lebih karena perubahan iklim dan pertumbuhan perkotaan yang tidak diatur.
Dengan demikian, pemerintah dan segenap pemangku kepentingan tampaknya harus memikirkan solusi agar kekeringan dan krisis air tidak menyebabkan perang meletus di masa mendatang. [rif]