“Kami menolak anggapan bahwa pemerintah tidak memiliki uang atau sarana untuk mengangkat semua orang keluar dari kemiskinan dan kelaparan serta memastikan kesehatan dan kesejahteraan mereka. Kami hanya melihat imajinasi ekonomi dan kemauan politik untuk benar-benar melakukannya,”Gabriela Bucher (Direktur Ekskutif Internasional Oxfam)
BARISAN.CO – Sebuah laporan baru dari Oxfam pada Selasa (12/4/2022) mengungkapkan, lebih dari seperempat miliar orang bisa jatuh ke tingkat kemiskinan yang ekstrem di tahun ini. Itu diakibatkan oleh Covid-19, meningkatnya ketidaksetaraan global, serta kenaikan harga pangan yang terpicu perang di Ukraina.
Laporan berjudul “First Crisis, Then Catastrophe” itu menunjukkan, 860 juta orang dapat hidup dalam kemiskinan ektrem dengan hanya sekitar pendapatan US$1,90 per hari akhir tahun ini. Hal ini tergambar pada kelaparan global, jumlah orang dengan kekurangan gizi bisa mencapai 827 juta tahun ini.
Selama tahun 2022, Bank Dunia memproyeksikan Covid-19 dan ketidaksetaraan yang memburuk menyebabkan bertambahnya jumlah orang miskin ekstrem sebanyak 198 juta jiwa. Dari proyeksi tersebut, Oxfam mengembangkannya dan justru kenaikan harga pangan global saja bisa mendorong 65 juta lebih banyak orang ke dalam kemiskinan ekstrem, dengan total 263 juta lebih banyak orang miskin ekstrem di tahun 2022 ini.
Direktur Ekskutif Internasional Oxfam, Gabriela Bucher mengatakan, tanpa tindakan radikal lansung, maka kita akan terngiang sebagai saksi keruntuhan manusia yang menjadi miskin ekstrem dan menderita begitu dalam.
Banyak orang yang berjuang mengatasi kenaikan biaya hidup yang tajam saat ini. Haru memilih antara makan, pemanas, atau tagihan medis. Kemungkinan kelaparan massal terjadi pada jutaan orang yang sudah terkunci dalam kelaparan dan kemiskinan yang parah di seluruh Afrika Timur seperti Madagaskar serta Sahel, Yaman, dan Suriah.
Pemerintah pun dipaksa memangkas pengeluaran publik untuk membayar kreditur dan mengimpor makanan serta bahan bakar. Negara termiskin dunia harus membayar setidaknya US$43 miliar untuk utang di tahun ini. Sedangkan, yang lainnya, mau tidak mau menutupi biaya impor kebutuhan pangannya.
Kenaikan Harga Pangan Memperparah Kondisi Kemiskinan Global
Harga pangan global mencapai titik tertinggi sepanjang bulan Februari ini, melampaui puncak krisis satu dekade silam. Raksasa migas pun melaporkan keuntungan yang memecahkan rekor dengan tren serupa, diperkirakan akan diperuntukkkan bagi sektr makanan dan minuman.
Kenaikan biaya makanan menyumbang 17 persen dari pengeluaran konsumen di negara kaya, tetapi sebanyak 40 persen di Afrika Sub-Sahara. Bahkan, di negara kaya sekali pun, inflansi membebani ketimpangan. Di Amerika Serikat misalnya, 20 persen keluarga termiskin menghabiskan 27 persen pendapatan mereka untuk makanan sedangkan, 20 persen keluarga terkaya hanya mengeluarkan 7 persennya saja.
Sebagian besar pekerja dunia, upah jangka riil terus stagnan atau bahkan turun. Efek Covid-19 telah memperluas ketidaksetaraan gender yang ada. Setelah menderita akibat kehilangan pekerjaan, perempuan berjuang kembali bekerja. Pada tahun 2021, terdapat 13 juta lebih sedikit pekerjaan bagi perempuan dibandingkan tahun 2019. Sementara itu, pekerjaan untuk laki-laki telah pulih ke tahun sebelum pandemi dimulai.
Laporan itu juga memperjelas, seleuruh negara sedang dipaksa lebih dalam jatuh ke kemiskinan. Covid-19 membebani semua pundi pemerintah, tetapi tantangan ekonomi dihadapi oleh negara berkembang lebih besar. Setelah penolakan akses vaksin yang adil, sekarang dipaksa lagi melakukan penghematan.
“Kami menolak anggapan bahwa pemerintah tidak memiliki uang atau sarana untuk mengangkat semua orang keluar dari kemiskinan dan kelaparan serta memastikan kesehatan dan kesejahteraan mereka. Kami hanya melihat imajinasi ekonomi dan kemauan politik untuk benar-benar melakukannya,” ujar Gabriela.
Menurutnya, saat ini, skala penderitaan dan ketidaksetaraan manusia yang terbuka dan diperdalam oleh berbagai krisis global. Kurangnya kemauan, bagi Gabriela tertolak untuk dimaafkan.