Scroll untuk baca artikel
Blog

Tamancovid – Cerpen Eko Tunas

Redaksi
×

Tamancovid – Cerpen Eko Tunas

Sebarkan artikel ini

Bahkan bukan hanya orang, kota pun disemprot cairan anti virus. Jalan raya, kampung, pasar, perkantoran, rumah ibadah. Akan tetapi jumlah yang sakit dan yang mati terus meningkat. Di negara-negara maju korban lebih banyak, kemudian di negara-negara berkembang. Angin terpana pandang dalam tarian Kunang bagai virus ada tiada, menyepi-nyepi jiwa terlara.

BENARKAH virus itu begitu kecil, bahkan tak kasat mata, batin Angin. Virus Covid namanya. Betapa dalam khayalnya, begitu besar, lebih besar dari dunia, karena kekuasaannya begitu mencekam jagad. Apakah ia semesta yang bangkit maya tapi nyata pandeminya. Seperti yang dirasakannya, inikah cinta, bagian dari maya sang rindu begitu nyata dalam tarian sintren. Kunang yang maya sebagai perempuan entah berentah, tapi serasa nyata dalam rasa.

“Ada apa Angin..,” tanya nyanyi Kunang berhenti menari, gemulai menghampiri Angin.
“Terbalik,” tukas Angin selalu, menyanyikan lagu puisi Umbu Landu Paranggi. Bernyanyi ia, “apa ada angin di Jakarta…” Berdua mereka bernyanyi, “seperti diembus desa melati, apa cintaku bisa lagi cari, akar bukit Wonosari, yang diam di dasar jiwaku, kenangkanlah jua yang celaka, orang usiran kota raya…”

“Kamu mau pulang ke desaku, Angin,” tanya Kunang bersimpuh ke dekat Angin. Senyumnya mengembang melihat Angin mengangguk, lalu membisik, “tapi kita tak boleh mudik.” Dalam jarak sepencium mereka bertatapan bagai saling berita. Lalu desah nyanyi mereka, merampungkan lagu puisi, “pulanglah ke desa, membangun esok hari, kembali ke huma berhati.”

Angin menghela serangkum napas Kunang, “sekarang aku tahu, seperti katamu sintren bisa menjelma bidadari dengan satu syarat masih perawan.”
Tawa Kunang mendecah, “padahal itu tak mungkin untukku.”
“Mungkin.”
“Kok..?”
Bisik angin, “hatimu perawan.”

Dibiasi remang cahaya bayangan mereka menyatu, dalam bayangan hitam wabah terkelam. O bayangan terlempar bayang, dalam cinta yang ternyata hanya kepingan rindu mendera kalbu. Seperti desah, seperti nyanyi, seperti bisik, seperti dendam, seperti jeritan, seperti diam. Juga aroma melati di antara bau mayat, dalam bayangan paling sarat larat…..

Lalu mayat-mayat terapung terbawa aliran sungai membelah kota.***

Semarang 21 April 2020

*Eko Tunas; Sastrawan Indonesia. Seniman serba bisa. Menulis, melukis, berteater sejak SMA. Lahir di Tegal 1956. Sekarang tinggal dan menetap di Semarang.