Tambak kami adalah tambak keajaiban.
Lebih rendah dari lautan;
lebih tinggi dari pegunungan.
Tambak kami adalah pertemuan dua kehidupan.
Memisah dahsyatnya perbenturan.
Menahan gempuran ombak;
menahan represifnya daratan.
Anugrah alam yang tiada terperi.
Dari tambak ini, kami turut menjaga dan menghidupi negri.
Lalu keajaiban berubah menjadi ironi.
Tuan hendak merebut tambak kami.
Membajak dan mengusir kami pergi.
Harga tambak kami menjadi anomali satir bagi tuan.
Lebih murah dari harga asu tuantuan;
lebih mahal dari harga diri tuantuan.
Bagaimana tidak lebih murah,
bukankah para asu telah membuang kotoran disini.
Bagaimana tidak lebih mahal,
bukankah dari sini tuantuan kami gaji.
Kurang apakah tuantuan?
Bukankah tuan sudah membakar laut dan mencabuli hutanhutan.
Kurang apakah tuantuan?
Bukankah tuan sudah memeras keringat kaum buruh dan menculasi kaum tani.
Kurang apakah tuantuan?
Apakah tuan belum puas menjilati pantat para kapitalis dan terusmenerus berkonspirasi dalam keserakahan.
Aku bersumpah atas nama negeri ini.
Sebaiknya tuan mandeg memaksakan kehendak.
Sebelum tiba waktunya kami mengirimkan bencana;
sebelum tiba harinya kami menghujamkan malapetaka.
Minggu, 21/10/2018
Lukman Wibowo, tinggal di Semarang