Scroll untuk baca artikel
Opini

Tantangan Dakwah di Era Post Truth

Redaksi
×

Tantangan Dakwah di Era Post Truth

Sebarkan artikel ini

SETIAP orang beriman yang sadar akan eksistensinya  sebagai pengganti Allah di permukaan bumi (khalifatullahi fil ardh) berkewajiban berdakwah, yakni: menyeru manusia kepada kebaikan (ma’ruf) dam melarang atau mencegah yang keji  (munkar) dengan berpedoman kepada Al-Quran. Sementara salah satu sinonim dari Al-Quran adalah Al-Furqon yang berarti pembeda antara yang yang hak dan batil.  

Persoalannya, para juru dakwah (dai atau daiyah) terutama dai milenial kini hidup dan berkiprah di era post truth. Suatu era yang diselimuti banyak manipulasi, pengkaburan, pembalikan antara yang benar dengan salah; antara yang hak dengan batil; antara fakta dengan bukan fakta (fake), dan sebagainya.

Mc Intyre dalam Post Truth (2018) memaknai era post-truth “as relating to or denoting circumstances in which objective facts are less influential in shaping public opinion than appeals to emotion and personal belief”. (berkaitan dengan atau menunjukkan keadaan dimana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada menarik emosi dan kepercayaan pribadi).

Adapun Michael A. Peters, Sharon Rider Mats Hyvönen dan Tina Besley (Editor) dalam “Post-Truth, Fake News Viral Modernity & Higher Education” (2018) mengeritisi,  sekalipun zaman sudah masuk paska kebenaran, fakta alternatif atau bahkan berita palsu secara fundamental merusak demokrasi, namun faktanya banyak digunakan oleh sementara elit politik.

Istilah post truth sendiri pertama kali dilansir Steve Tesich, dramawan keturunan Amerika-Serbia di majalah The Nation ketika menulis tentang perang Teluk dan Iran (1992). Melalui esainya tersebut, Tesich menunjukkan kegalauannya yang mendalam terhadap perilaku politisi/pemerintah. Kemudian istilah tersebut dipopulerkan oleh penulis Amerika, Ralph Keyes (2004) dalam bukunya:  “The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life” bersama  komedian Stephen Colber dengan istilah tersebut dengan truthiness. Yakni: sesuatu yang seolah-olah benar, padahal tidak benar sama sekali.

Perhatian Al-Qur’an

Saking fenomenalnya terminologi post truth di kalangan akademisi, pakar, ataupun pengamat,  tak heran jika pada tahun 2016 Oxford Dictionary (OD) menganugerahi kata “Post-Truth” sebagai “Dictionary Word of the Year 2016”. Hal ini disebabkan karena terjadinya peningkatan 2.000 persen penggunaan kata tersebut pada tahun 2016.  Menurut OD, era post truth berkaitan dengan atau menunjukkan keadaan dimana fakta-fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada menarik emosi dan kepercayaan pribadi.

Terminologi post truth yang ditandai dengan perilaku truthiness, mirip dengan istilah hipokrit atau hipokrisi dalam bahasa Yunani  (hypokrisis), yang artinya “cemburu”, “berpura-pura”, atau “pengecut”. Dalam bahasa Indonesia, sering disebut sebagai “kemunafikan”.  Yang sebenarnya diadopsi dari Bahasa Arab. Dalam khasanah Islam, terminologi tersebut  merujuk pada orang yang berpura-pura mengikuti ajaran agama Islam, tetapi sebenarnya hati mereka memungkirinya.

Perihal orang-orang munafiq menarik perhatian ajaran Islam. Hal ini dibuktikan dengan terdapat 37 ayat Al-Qur’an yang membahas ciri-ciri orang-orang munafik. Pun demikian Hadist Nabi Muhammad SAW. Salah satu Hadits Nabi Muhammad SAW Riwayat Bukhari dan Muslim yang  dengan gamblang menyebut 3 ciri atau tanda orang-orang munafik. Yakni: (1) jika berbicara berdusta, (2)  jika berjanji mengingkari, dan (3) jika diberi amanah mengkhianati. Mengingat dampak negatifnya sangat eksplosif dan destruktif, maka Allah SWT mengancam orang-orang munafik dengan menempatkannya di kerak api neraka. (QS: An-Nisa: 145).