BAGI masyarakat Muntilan, khususnya yang akrab dengan Pramuka. Nama Marjo sudah jaminan paten sebagai penghafal Dasadarma dan Tri Satya. Bukan cuma hafal, namun juga penghayat sampai di kali. Maklum Marjo bukan jenis spesies yang meyakini bahwa WC adalah satu-satunya syariat menuju kahyangan.
Selain hafal dasadarma pramuka dan trisatya, Marjo yang warga dusun Pulosari Kecamatan Salam Kabupaten Magelang ini sangat bangga dengan pakaian doreng tentara. Nyaris seluruh aktivis pramuka mengenal dan dikenalnya. Ia merasa menjadi alumni di semua sekolah yang memiliki program ekstrakrikuler Pramuka.
Dalam setiap kemah, dari sekolah manapun, ia selalu melantik dirinya sebagai seksi pembantu umum.
“Manusia itu kebahagiannya saat bisa membantu sesama. Seperti dasadarma pramuka ke lima. Iyo to?” katanya suatu saat.
Nah, meski rela menolong dan tabah seperti dasadarma pramuka kelima, kehadirannya ternyata diterima sekaligus ditolak oleh para aktivis Pramuka. Mirip dengan jendral polisi berkumis pengguncang Indonesia, Budi Gunawan.
Bedanya kalau BG ditolak karena dituduh suka menggendutkan rekeningnya dan keluarganya, untuk Marjo ditolak karena dianggap kurang genap alias gila. Barangkali karena hobinya bergendut-gendut itu, BG juga diterima DPR, kalau Marjo diterima memang karena sangat rajin.
“Dasadarma dan trisatya itu tidak untuk dihapalkan. Nggak hapal nggak papa yang penting dilakoni,” katanya saat kemah di dusun Keningar Kecamatan Dukun Magelang.
Saya sendiri tidak dalam posisi menerima atau menolak kehadiran Marjo. Bagi saya Marjo tidak gila, tapi juga tidak waras. Bahkan dia juga berjasa menyampaikan surat cinta kepada Farida Nursinta, yang akhirnya menolak dan sekarang jadi salah satu bos di BNI yogya.
Antara Marjo dan saya hanya berbeda frekwensi saja saat berkomunikasi. Ketika frekwensi sama, klik…nyambung. Khususnya saat diskusi masalah bela negara sambil udut.
Untuk menyamakan frekwensi agar obrolan bisa nyambung sangat gampang. Cukup sediakan Djarum 76. Itupun tak harus sebungkus, bahkan join sebatang berdua juga cukup.
Saya dan Marjo memang penggemar Djarum 76. Kami merokok ada dasarnya, yakni bahwa manusia hidup itu tak melulu butuh yang manis-manis menggembirakan. Namun juga butuh racun, agar semesta dalam diri bisa seimbang.
“Tuhan itu Maha Adil, namun alam tidak. Saya cinta pramuka karena saya gagal jadi anggota ABRI. Nah kegagalan itu juga racun,” kata Marjo berfilsafat.
Ia lalu mengemukakan pendapatnya, bahwa udut merupakan bagian dari penyehatan jiwa seseorang. Dengan udut ia merasa seluruh ototnya yang tegang bisa rileks. Dengan otot yang rileks, jiwa bisa sehat.
“Aku tadi dolan di mbak Mirsha Pucung. Sama mas Danang, suaminya dikasih Djarum Super. Saya terima tapi belum saya udut. Saya masih butuh racun 76, belum yang super,” kata Marjo.
Marjo kemudian mengeluarkan selembar cuilan koran yang membahas asap rokok kretek (bukan rokok putih) yang justru menjadi penyembuh kanker.
Sayang otak saya tak secerdas Marjo dalam mencerna kalimat. Sejauh yang saya tangkap, tulisan itu menceritakan penelitan Prof Dr Sutiman B Sumitro, guru besar biomolekuler dari Universitas Brawijaya Malang.
Dijelaskan bahwa penyakit lebih sering disebabkan radikal bebas. Yakni atom yang memiliki kecepatan reaksi supercepat, sepersekian miliar per detik.
Radikal bebas memiliki elektron yang tak berpasangan dengan inti atom. Karena tak berpasangan, sifatnya menjadi reaktif dan memberikan elektron pada lainnya dan menjadi radikal. Itulah yang menjadi sumber penyakit pada manusia dan mempercepat proses penuaan.