Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Tiga Kebenaran

Redaksi
×

Tiga Kebenaran

Sebarkan artikel ini

AL-QURAN melukiskan, “Mereka mempunyai hati yang tidak digunakan untuk mengerti. Mereka mempunyai mata yang tidak digunakan untuk melihat. Mereka mempunyai telinga yang tidak digunakan untuk mendengar. Seperti binatanglah mereka, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf: 179).

Nah, Pak Muh sapaan akrab Muhammad Zuhri mengungkap makna ayat tersebut, bahwa ada tiga dimensi kehidupan. Pertama, dimensi struktural, yaitu struktur semesta, yakni segenap isi jagat raya ini, mulai dari partikel-partikel sampai galaksi-galaksi. Dan, akal yang bertugas untuk menyibak dimensi struktural.

Akal atau rasio dilukiskan sebagai mata yang berperan untuk mengenal struktur semesta tersebut, di mana sarana kehidupan manusia dan pengembangan diri didapat. Orientasi kita terhadap struktur semesta menghasilkan disiplin-disiplin ilmu dan perspektif-perspekstif nilai untuk mengungkap kebenaran objektif.

Kedua, dimensi situasional, yaitu situasi kehidupan. Dalam dimensi ini akal berhenti. Akal hanya sanggup mengetahui struktur semesta. Rasio tidak sanggup merasakan situasi kehidupan. Situasi panas, dingin, benci, senang, simpatik, tidak suka, tidak bahagia dan semacamnya itu menjadi pekerjaan hati, bukan akal.

Hati yang melahirkan perasaan itu dilukiskan sebagai telinga, alat untuk menangkap informasi, di mana kita dapat merespon situasi kehidupan. Respon yang menjelma karya-karya yang bersifat subjektif. Respon jiwa yang melahirkan kebenaran subjektif.

Ketiga dimensi proses hidup. Proses hidup berbeda dengan kedua dimensi sebelumnya, bahwa dalam dimensi ini Tuhan tidak menganugerahi alat yang melekat dalam diri kita untuk menganalisisnya. Proses hidup adalah dimensi mengarungi waktu. Dimensi menghayati kehidupan.

Rasio dan perasaan kita tidak sanggup mengetahui secara persis nasib kita pada masa yang akan datang. Berapa kali kita akan mengalami duka, berapa kali akan senang, berapa kali akan kecewa. Kapan mati, di mana, dan siapa yang menunggui, dan seterusnya. Peruntungan apa yang diperoleh esok pagi, tiada seorang pun yang mengetahui.

Nah, Tuhan menolong umat manusia mengatasi wilayah proses itu lewat agama. Tuhan menolong kita menempuh hidup yang kita tidak tahu petanya, dengan menurunkan agama. Sehingga, jelas keberadaan agama itu tidak untuk dipertentangkan dengan wilayah kerja akal dan hati, tetapi membantu, dan memantapkan eksistensi manusia. Agama tidak untuk membenarkan kebenaran yang dihasilkan oleh akal maupun hati, karena wilayah kebenaran dari ketiga dimensi tersebut memang berbeda. Agama adalah pengetahuan proses.

Orientasi akal dan jiwa yang mengungkap alam semesta dan diri manusia, yang melahirkan kebenaran objektif dan subjektif, berpengetahuan struktur dan merasakan situasi, adalah karya masterpiece manusia mengungkap ruang. Namun, keduanya tidak dapat menjamin keselamatan umat manusia dalam berproses, dalam mengarungi waktu.

Al-Quran melukiskan keberadaan agama itu dengan istilah “hati” dalam hal ini hati berbeda dengan perasaan, yang dilukiskan dengan istilah “telinga” berperan memandu proses hidup. Agama hadir memandu dimensi proses, sehingga terungkap kebenaran kontekstual, tersibak jalan hikmah.

Kenapa Tuhan berpartisipasi menurunkan agama? Tak lain tidak bukan, karena sekali lagi manusia tidak memiliki pengetahuan tentang masa depan. Buktinya, kita selalu mengukur masa depan dengan pola masa lalu. Buktinya, kita lebih sering bersikap membumi, ketimbang melangit. Buktinya, kita condong memilih yang enak-enak, yang menyenangkan, yang ringan, mudah, dan tak banyak risiko. Pendeknya, kita menghadapi hidup lebih banyak ditentukan oleh hal-hal yang bersifat duniawi.