Orientasi akal dan jiwa yang mengungkap alam semesta dan diri manusia, yang melahirkan kebenaran objektif dan subjektif, berpengetahuan struktur dan merasakan situasi, adalah karya masterpiece manusia mengungkap ruang. Namun, keduanya tidak dapat menjamin keselamatan umat manusia dalam berproses, dalam mengarungi waktu.
Al-Quran melukiskan keberadaan agama itu dengan istilah “hati” dalam hal ini hati berbeda dengan perasaan, yang dilukiskan dengan istilah “telinga” berperan memandu proses hidup. Agama hadir memandu dimensi proses, sehingga terungkap kebenaran kontekstual, tersibak jalan hikmah.
Kenapa Tuhan berpartisipasi menurunkan agama? Tak lain tidak bukan, karena sekali lagi manusia tidak memiliki pengetahuan tentang masa depan. Buktinya, kita selalu mengukur masa depan dengan pola masa lalu. Buktinya, kita lebih sering bersikap membumi, ketimbang melangit. Buktinya, kita condong memilih yang enak-enak, yang menyenangkan, yang ringan, mudah, dan tak banyak risiko. Pendeknya, kita menghadapi hidup lebih banyak ditentukan oleh hal-hal yang bersifat duniawi.
Syahdan, terdapatlah tiga kriteria penilaian kebenaran. Bahwa setiap dimensi memiliki kriteria masing-masing. Bahwa kebenaran struktural tidak dapat digunakan untuk menilai kebenaran situasional. Bahwa pengalaman subjektif tidak berlaku untuk mengukur pengetahuan objektif. Bahwa pengetahuan proses memiliki kriteria yang berbeda dengan pengetahuan objektif dan pengalaman subjektif. Bahwa pengetahuan proses berdimensi jauh, yang mustahil terengkuh oleh pemahaman objektif dan pengalaman subjektif.
Begitu.