Jika dikatakan zahida fi ad dunya artinya meninggalkan yang haram dari dunia itu karena siksaannya.
BARISAN.CO – Zuhud merupakan laku hidup yang memiliki tujuan dan tingkatan. Adapun arti zuhud adalah berpaling dari suatu hal yang berhubungan dengan dunia dan dunia sebagai bagian dari jalan menuju hal yang utama yakni Allah Swt. Berikut ini akan dijelaskan tujuan dan tingkatan zuhud menurut Imam Al-Ghazali.
Namun sebelumnya perlu diketahui bahwa pengertian zuhud, menurut Imam Ahmad bin Hambal dalam buku Zuhud Cahaya Kalbu zuhur menurut bahasa berasal dari zahida fiihi wa’anhu zuhdan wazahadatain artinya berpaling dari sesuatu, meninggalkan karena kehinaannya atau karena kekesalan kepadanya atau membunuhnya.
Jika dikatakan zahida fi ad dunya artinya meninggalkan yang haram dari dunia itu karena siksaannya.
Selain pengertian zuhud tersebut menurut Imam al-Ghazali dalam Muhtasar Ihya’ Ulumuddin, zuhud adalah menolak sesuatu dan mengandalkan yang lain maka siapa yang meninggalkan kelebihan dunia dan menolaknya serta mengharapkan akhirat, maka ia pun zahid di dunia.
Zuhud sebagai posisi maqam dalam tasawuf merupakan salah satu aspek perwujudan ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan Tuhan-Nya.
Dalam dunia tasawuf seseorang yang ingin bertemu dengan Tuhan-Nya harus melakukan perjalanan (suluk) dan menghilangkan sesuatu yang menghalangi antara dirinya dengan Tuhan-Nya yaitu dunia Materi hal inilah yang disebut oleh Amin Syukur sebagai Zuhud.
Tingkatan Zuhud
Zuhud sebagai laku hidup merupakan suatu sikap, maka ia memiliki tingkatan (derajat zuhud). Oleh karena sikap zuhud terkadang berlebih dan kadang juga berkurang untuk itu al-Ghazali membagi menjadi tiga yaitu:
- Tingkat yang terendah, orang yang zuhud di dunia dan ia rindu kepadanya. Akan tetapi hatinya masih cenderung kepada dunia. Nafsunya berpaling kepada dunia. akan tetapi, ia berusaha sungguh-sungguh mencegahnya. Orang ini berusaha untuk tetap zuhud, tingkatan ini disebut mutazahhid (orang yang berusaha untuk zuhud). Dan ini adalah langkah awal untuk zuhud.
- Meninggalkan dunia dengan mudah, karena dipandangnya hina dunia itu, dengan dikaitkan yang diharapkannya. Artinya zahid di sini menginginkan balasan dari Allah swt.
- Zuhud yang tertinggi, dimana tidak ada keinginan suatu apapun, selain kepada Allah swt dan kepada menemui Allah swt. Hatinya tidak berpaling pada kesakit-sakitan dengan maksud hendak melepaskan diri daripadanya. Zahid di sini menghabiskan semua cita-citanya kepada Allah swt sehingga ia dan cita-citanya menjadi satu. Yaitu mengesakan (bertauhid) yang hakiki yang tidak dicarinya selain Allah swt. Orang dalam kezuhudannya orang ini tidak mengetahui bahwa dirinya ini tidak ada nilainya dibandingkan dengan Allah swt. Zuhud ini muncul karena telah makrifat kepada Allah swt dan ini adalah zuhud yang paling tinggi tingkatan atau derajatnya.
Tujuan Zuhud
Sedangkan Berdasarkan tujuannya atau dilihat sisi tujuannya zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan pula:
- Zuhud karena ingin selamat dari siksa api neraka seperti azab kubur
- Sikap laku karena ingin kepada pahala dan nikmat Allah swt
- Zuhud yang tertinggi karena cinta kepada Allah swt.
Menurut al-Ghazali dunia yang dibenci itu ialah segala sesuatu yang ada selain Allah swt yang umumnya disenangi manusia seperti kepemimpinan, harta, pangkat, dsb.
Itulah sebabnya al-Ghazali mengartikan zuhud sebagai benci terhadap sesuatu yang menjadikan hawa nafsu. Ketika orang benci terhadap bagian hawa nafsunya, pasti tidak senang untuk kekal di dunia maka pasti sedikit lamunannya.
Sebaliknya dia mengidam-idamkan kekekalan dan bersenang-senang dalam kekelannya itu orang yang mencintai kehidupan ini akan tidak berarti cintanya itu kecuali disertai dengan harapan kekelan sesuatu yang ada atau yang mungkin ada dalam kehidupan ini. Jika ia membencinya sudah barang tentu dia tidak menginginkan kekekalannya.
Bagi al-Ghazali orang yang zuhud orang yang menjaga badan ketika lapar dan haus dengan makan dan minum mempunyai sikap tak lengkang karena panas dan lapuk karena hujan.
Dia tidak larut dala kegembiraan terhadap apa yang ada (yang dimiliki) dan tidak terlalu bersedih, susah terhadap apa yang lepas dari padanya bersikap wajar ketika dipuji atau dicela dan dia mencintai Allah swt.
Hal tersebut menunjukkan kondisi psikologis seorang zahid dia tidak terikat dengan materi, pangkat dan jabatan. Ada atau tidak adanya adalah sama saja, satu yang dicintai adalah Allah swt.
Al-Ghazali berpendapat bahwa orang yang apabila fisiknya bergelimang dengan dunia pasti akan terkena negatifnya. Orang yang mencintai dengan bergelimang dengan dunia maka hatinya menjadi gelap.
Mencintai dunia menyebabkan hati tidak menikmati indahnya ibadah. Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia adalah sesuatu yang nyata dan kongkrit, kenikmatan manusia yang diperoleh dari yang rnyata tersebut dan apa pun yang dilakukan manusia dari yang nyata tersebut untuk dinikmati.