Imam Al-Qusyairi merupakan sosok pemurni ajaran tasawuf yang memiliki beragam gelar, seperti al-Imam, al-Ustadz, asy-Syaikh, Zainul Islam, al-Jami’ baina Syari’ati wa al-Haqiqah (perhimpunan antara nilai syariat dan hakikat).
BARISAN.CO – Imam Al-Qusyairi merupakan sosok pemurni ajaran tasawuf. Ia memiliki nama lengkap al-Imam Abu al-Qasim Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Talhah bin Muhammad al-Istiwai al-Qusyairi an-Naisaburi asy-Syafi’i.
Ia dilahirkan di pusat pengajaran ilmu-ilmu agama yakni di Astawa, kota Nasyapur pada tahun 376 H/986 M.
Sebelum terjun ke dunia tasawuf Imam Al-Qusyairi belajar tafsir, ushul fikih, hadits, adab, sastra arab dan syair. Sejak kecil ia sudah belajar etika dan bahasa Arab serta menunggang kuda. Menginjak usia remaja ia pergi ke Naisabur untuk belajar ilmu hitung dan tinggal di desa Bastu.
Sosok yang banyak menulis kitab tasawuf ini bergaul dengan banyak ulama, antara lain dengan Abu Bakar Muhammad bin Abu Bakar at-Tusi (w. 1014/405 H), ahli fikih, dengan Abu Bakar bin Faurak (w. 1016/407 H), ahli usul fikih dan ilmu kalam, dengan Abu Ishaq al-Isfarayani (w. 1027/418 H), dan lain-lain.
Keturunan arab dari Khurasan dan ayahnya yang berasal dari suku Qusyair dan Ibunya dari Sulam setelah matang menyelami ilmu lahir, sehingga ia pantas disebut ahli fikih, yang menganut madzhab Syafi’i, dan ahli ilmu kalam, yang menganut aliran Asy’ariyah atau Ahlus Sunnah wal-Jamaah.
Imam al-Qusyairi banyak bergaul dengan para ulama lain yang ada di Naisabur. Ada dua orang ulama yang sangat erat hubungannya dengan al-Qusyairi yaitu Abu Abdu ar-Rahman as-Sulami. Tokoh sufi dari aliran Malamatiyah yang banyak memberikan informasi aliran itu kepadanya.
Juga kepada Abu al-Ma’ali al-Juwaini, seorang ahli fikih dan ilmu kalam terkemuka yang pada umur 20 tahun telah mewarisi pengajian ayahnya Abu Muhammad dan kemudian setelah empat tahun menetap di Nijaz, mengajar dan mengembangkan ilmunya disana sehingga digelari Imam al-Haramain. Ia diangkat menjadi Syaikh pada madrasah Nizamiyah Naisabur yang sengaja dibangun untuknnya
Di Nisyapur, belajar juga kepada Syekh Abu Ali ad-Daqqaq (w. 1023/412 H). Syekh ini mempunyai pengaruh yang besar atas pribadi al-Qusyairi, dan hasil membimbingnya menjadi bagian dari kelompok murid-murid yang istimewa (khawas).
Al-Qusyairi bahkan dikawinkan dengan putri Syekh 1 ad-Daqqaq. Dengan latar belakang kematangan dalam ilmu lahir (syariat), tidak mengherankan bahwa tasawuf yang dianut dan diajarkan oleh al-Qusyairi adalah tasawuf yang sejalan dengan ajaran syariat.
Dari tulisan-tulisannya yang dijumpai, terlihat, ia berupaya menyadarkan orang bahwa tasawuf yang benar itu adalah tasawuf yang bersandarkan pada akidah yang benar, seperti yang dianut oleh para salaf atau ahlus sunnah, dan tidak menyalahi ketentuan syariat.
Sebagai pengikut teologi Asy’ariyah, ia juga aktif membela akidah Ahlus Sunnah wal-Jamaah, dan menyerang aliran-aliran lain, seperti Syi’ah, Mu’tazilah, dan lain-lain. Karena aktivitas demikian, ia pernah dipenjarakan pada 1055 (445 H).
Selama lebih sebulan, oleh pihak penguasa (Tugrul Bek), berdasarkan saran menterinya yang berpaham Syi’ah. Dua puluh tahun kemudian, ia wafat dan dikuburkan di Nisyapur (pada 1075/465 H).
Karya al-Qusyairi yang amat berharga bagi sejarah kesufian adalah karya tulisnya yang bernama ar-Risalat al-Qusyairiyyat, karena dengan karya tulis tersebut ia telah berhasil mengabadikan warisan rohaniah kaum sufi abad ke-3 dan 4 Hijrah, berupa keterangan-keterangan tentang perjalanan hidup dan wejangan-wejangan para tokoh sufi.
Karya tulisnya yang lain, yang cukup penting pula adalah Lataifal-Isyarat, sebuah kitab tafsir al-Quran dengan penafsiran kesufian. Selain dari kedua karya tulis di atas (sudah dicetak), masih ada 13 buah judul lagi karya tulisnya. Sebagian sudah diterbitkan dan yang lain masih berupa manuskrip (tulisan tangan).
Di antara pesan-pesan al-Qusyairi dalam tulisannya adalah sebagai berikut:
“Ketahuilah oleh anda bahwa para syekh golongan (tasawuf ini membangun prinsip-prinsip mereka dengan dasar-dasar yang kuat dalam tauhid; dengan dasar-dasar itu mereka menjaga akidah-akidah mereka agar terhindar dari bid’ah-bid’ah.”
Mereka dekat dengan tauhid yang dipegang oleh kaum salaf dan ahlus sunah, yakni tauhid yang tidak mengandung tamsil (menyamakan Tuhan dengan makhluk-Nya) dan ta’til (mengosongkan-Nya dari sifat-sifat-Nya).
Mereka menyadari apa yang menjadi hak Tuhan yang Qadim, dan mereka meyakini apa yang merupakan sifat makhluk yang diciptakan dari tiada.
Karena itulah tokoh golongan ini, al-Junaid, berkata: “Tauhid adalah mengesakan Yang Qadim (Allah) dari yang hadis (makhluk). Mereka mengukuhkan dasar-dasar akidah itu dengan dalil-dalil dan bukti-bukti yang jelas.”
Demikianlah antara lain pesan al-Qusyairi tentang akidah para sufi, yang segera ia lanjutkan dengan menampilkan serangkaian pernyataan mereka di sekitar akidah tauhid.
Al-Qusyairi memperingatkan bahwa tasawuf yang tidak disertai dengan upaya yang sungguh-sungguh untuk menyucikan diri dan menjauhkan diri dari yang tercela, adalah tasawuf yang batil atau berpura-pura; setiap kebatinan yang menyalahi syariat yang lahir, bukanlah kebatinan.
Setiap tauhid yang tidak bersesuaian dengan Al-Qur’an dan Sunnah bukanlah tauhid, tapi talhid (penyelewengan); dan setiap makrifat yang tidak disertai wara’ (menjauhi apa saja yang diragukan kehalalannya) dan istiqomah (lurus dan teguh pendirian) bukanlah makrifat, tapi khurafat (khayalan kosong).
Selanjutnya tentang hubungan antara syariat dan hakikat al-Qusyairi menulis sebagai berikut:
“Syariat adalah perintah untuk tetap dan tekun beribadat, sedang hakikat adalah menyaksikan ketuhanan. Setiap syariat yang tidak diperkuat dengan hakikat, tidaklah diterima; dan setiap hakikat yang tidak terikat dengan syariat, juga tidak diterima. Syariat datang untuk membebani makhluk (manusia) dengan tugas, sedang hakikat mengabarkan tentang urusan Tuhan. Syariat adalah: anda mentaati (menyembah)-Nya, sedang hakikat adalah: anda menyaksikan-Nya. Syariat adalah menegakkan apa yang diperintahkan sedang hakikat adalah menyaksikan apa yang diputuskan, ditentukan, dirahasiakan, dan dinyatakan-Nya.”
Boleh jadi karena niatnya untuk membersihkan tasawuf dari keyakinan-keyakinan yang menyimpang, al-Qusyairi tidak mencantumkan dalam bukunya ungkapan-ungkapan syatahat (ganjil kedengarannya), beberapa sufi, karena bisa menimbulkan salah paham.
Imam Al-Qusyairi memeliki beragam gelar, Pertama al-Naisaburi, sebuah gelar yang dinisbatkan pada nama kota Naisabur atau Syabur, salah satu ibu kota terbesar negara Islam pada abad pertengahan, di samping kota Balkh Harrat dan Marw.
Kedua, al-Qusyairi, nama Qusyairi adalah sebutan marga Sa’ad alAsyirah al- Qathaniyah, mereka adalah sekelompok orang yang tinggal di pesisiran Hadramaut.
Ketiga, al-Istiwa, orang-orang yang datang dari bangsa Arab yang memasuki daerah Khurasan dari daerah Ustawa, yaitu sebuah negara besar di wilayah pesisiran Naisabur, yang berhimpitan dengan batas wilayah Nasa.
Keempat, al-Syafi’i sebuah penisbatan nama pada mazhab Syafi’i yang didirikan oleh al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i pada tahun 150-204 H/767-820 M.
Kelima, al-Qusyairi memiliki gelar kehormatan, antara lain: al-Imam, al-Ustadz, asy-Syaikh, Zainul Islam, al-Jami’ baina Syari’ati wa al-Haqiqah (perhimpunan antara nilai syari’at dan hakikat).
Gelar ini disematkan kepada Imam Al-Qusyairi karena wujud kecintaan dan penghormatan atas tinggingnya ilmu beliau di bidang tasawuf.
Sumber bacaan: Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan Anggota IKAPI, Jakarta, 1992 dan lain sebagainya.