Kapten Veltman lalu berucap: “Tjoet Nja’ Dhien, maafkan saya datang menjalankan tugas sebagai prajurit. Saya Kapten Veltman, diperintahkan dan berkewajiban melaksanakan ini. Maafkan saya, maafkan saya. Saya ditugaskan membawa Anda.”
Seluruh tentara mengikuti yang dilakukan Kapten Veltman. Mereka melepas topi, meletakkannya di dada, menunduk dengan khidmat. Di hadapan Tjoet Nja’ Dhien, para tentara tampak getir—sekaligus takjub dan hormat—menyadari bahwa ternyata sosok yang mereka lawan selama ini adalah perempuan tua yang tak lagi bisa melakukan apa-apa.
“Perlakukan dengan baik!” Perintah Kapten Veltman kepada pasukannya saat hendak menandu Tjoet Nja’ Dhien.
Yang tersisa kemudian adalah sejarah. Tjoet Nja’ Dhien dibuang ke pengasingan di Sumedang. Ia tidak lagi memegang rencong, tapi mengajarkan al-Quran dan bahasa Arab kepada penduduk. Orang-orang lebih memahaminya sebagai pendakwah daripada panglima perang. Di sana, Tjoet Nja’ Dhien dipanggil sebagai Ibu Prabu atau Ibu Suci, dan Ia wafat setelah dua tahun berada di pengasingan.
Etika Perang
Menonton Tjoet Nja’ Dhien tentu mengingatkan kita pada sejarah kelam kolonialisme. Ironis bahwa sampai hari ini hal tersebut masih terjadi, sebagaimana kita melihat pendudukan Israel atas wilayah Gaza yang merupakan tempat tinggal rakyat Palestina.
Jauh berbeda dari kolonialisme yang ditampilkan dalam film Tjoet Nja’ Dhien, Israel sama sekali tak memedulikan etika peperangan. Mereka tak menghormati musuh-musuhnya, mereka tak peduli untuk membunuh anak, perempuan, dan orangtua.
Rudal-rudal yang mereka luncurkan asal mengarah Palestina, tak peduli bila itu kemudian menghancurkan rumah penduduk di sana.
Padahal, secara normatif dunia telah mengatur ihwal etika perang. Sejak awal pertengahan abad ke-20, perang tidak lagi diterima sebagai paradigma yang diperbolehkan, melainkan telah sedemikian rupa dianggap sebagai peristiwa faktual yang diatur oleh ketentuan hukum.
Hukum humaniter internasional mengenal istilah Jus ad Bellum, yang berarti hak untuk berperang. Istilah ini menerangkan dalam konteks apa perang dapat dibenarkan, serta mengatur bagaimana penggunaan pasukan bersenjata dalam perang.
Syarat utama untuk Jus ad Bellum adalah ia harus konstitusional. Perang harus dilakukan oleh otoritas sah (negara) agar korban perang bisa dibedakan dengan korban pembunuhan.
Cicero (106 – 43 SM) dikenal sebagai peletak dasar etika ini. Yang paling penting dari Jus ad Bellum adalah keputusan untuk perang harus dibenarkan secara moral. Menurut Cicero: “Perang sama sekali tidak boleh dilakukan oleh suatu negara kecuali untuk mempertahankan kehormatan atau keselamatan.”