Oleh: Ananta Damarjati
Film besutan Eros Djarot, Tjoet Nja’ Dhien (1988), ditayangkan dalam versi yang lebih jernih usai direstorasi. Dengan caranya yang kolosal, film ini mengingatkan kita kembali pada sebuah epos sejarah kepahlawanan Indonesia.
Tjoet Nja’ Dhien bercerita tentang perang jihad antara rakyat Aceh yang dipimpin Teuku Umar (Slamet Rahardjo) bersama istri ketiganya, Tjoet Nja’ Dhien (Christine Hakim), melawan kape’ pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Tentu harus kita cermati bagaimana tangga dramatis ketika Tjoet Nja’ Dhien tampil sebagai pemimpin setelah suaminya tewas di lepas pantai Meulaboh dalam penyerbuan tentara bayaran (marsose) Hindia Belanda. Dalam catatan sejarah, peristiwa matinya Teuku Umar itu terjadi tahun 1899.
Tjoet Nja’ Dhien lantas menggantikan posisi suaminya. Begitu kharismatik. Begitu teguh. Begitu tegas menentang penjajahan. Demikianlah Tjoet Nja’ Dhien di kehidupan nyata. Sinematografi buah kerja George Kamarullah dengan luar biasa telah berhasil menghadirkan kesan itu ke dalam citra layar perak.
Setelah bertahun-tahun bergerilya dan menguras dana pemerintah Hindia Belanda, kekalahan harus diterima Tjoet Nja’ Dhien pada tahun 1905. Ironis mengetahui salah satu musabab kekalahan itu adalah pengkhianatan. Tempat persembunyian pasukan Dhien di tengah hutan dibocorkan oleh seorang tangan kanannya bernama Pang Laot.
Kenapa Pang Laot berkhianat? Ia punya alasan. Ia tak tega melihat kondisi fisik Tjoet Nja’ Dhien yang makin menurun: matanya rabun, punggungnya encok, dan tak mampu lagi dibawa berjalan karena kakinya melumpuh. Atas dasar itulah Pang Laot menghubungi Hindia Belanda.
Singkat cerita, sekitar satu kompi tentara Belanda kemudian datang ke hutan persembunyian. Pang Laot yang menuntun mereka.
Tanda-tanda kekalahan gerilyawan Aceh sangat terasa. Mereka kalah jumlah, kalah persenjataan, dan kalah dalam segalanya. Tjoet Nja’ Dhien juga menyadari hal itu. Ia kemudian memerintahkan seluruh orang tua, perempuan, dan anak untuk bergegas lari dan menyisakan dirinya bersama pasukan laki-laki yang jumlahnya tak seberapa.
Di bawah hujan yang lebat, diawali teriakan takbir, pasukan gerilyawan Aceh menyerang tentara Hindia Belanda.
“Dorr! Dorr Dorr!” Hanya butuh sekian menit bagi tentara kolonial melibas pasukan ini dengan bedil. Pasukan Aceh tumpas.
Hanya tersisa Tjoet Nja’ Dhien: Ia duduk di sana, di sebuah tempat seperti gua, sendirian, tak bisa apa-apa, dengan kondisi menyedihkan di bawah hujan yang lebat.
The Last Stands
Kapten Veltman melepas topinya, seperti umumnya dilakukan bangsa Eropa untuk menghormati sosok besar. Ia lalu mengendap mendekat sambil membungkukan diri sejajar dengan posisi duduk Tjoet Nja’ Dhien.
Kapten Veltman lalu berucap: “Tjoet Nja’ Dhien, maafkan saya datang menjalankan tugas sebagai prajurit. Saya Kapten Veltman, diperintahkan dan berkewajiban melaksanakan ini. Maafkan saya, maafkan saya. Saya ditugaskan membawa Anda.”
Seluruh tentara mengikuti yang dilakukan Kapten Veltman. Mereka melepas topi, meletakkannya di dada, menunduk dengan khidmat. Di hadapan Tjoet Nja’ Dhien, para tentara tampak getir—sekaligus takjub dan hormat—menyadari bahwa ternyata sosok yang mereka lawan selama ini adalah perempuan tua yang tak lagi bisa melakukan apa-apa.
“Perlakukan dengan baik!” Perintah Kapten Veltman kepada pasukannya saat hendak menandu Tjoet Nja’ Dhien.
Yang tersisa kemudian adalah sejarah. Tjoet Nja’ Dhien dibuang ke pengasingan di Sumedang. Ia tidak lagi memegang rencong, tapi mengajarkan al-Quran dan bahasa Arab kepada penduduk. Orang-orang lebih memahaminya sebagai pendakwah daripada panglima perang. Di sana, Tjoet Nja’ Dhien dipanggil sebagai Ibu Prabu atau Ibu Suci, dan Ia wafat setelah dua tahun berada di pengasingan.