Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Common Sense

Redaksi
×

Common Sense

Sebarkan artikel ini

Barisan.coPERILAKU individualis, yang mementingkan diri sendiri, yang tidak memedulikan kondisi orang lain, praktis menggejala di kompleks Perumahan, sejak dua tahun seusai saya jadi salah satu penghuni tetapnya. Individualis, konon berarti ‘perorangan’, ‘pribadi’, mengandaikan perorangan memiliki kedudukan utama. Setiap kepentingannya merupakan urusan tertinggi. Namun, Sekali lagi, tidak hitam putih, tapi plus minus. Ada kelebihan sekaligus kekurangan yang menyelimutinya.

Kelebihan dari sifat individualis, menumbuhkan kesadaran bahwa setiap orang adalah unik, tiada duanya. Setiap orang berharga, apa pun latar belakang profesi kerjanya, seberapa pun penghasilan yang diperolehnya. Setiap orang adalah pribadi otonom, berdiri sendiri. Setiap orang adalah sesuatu yang tak akan terulang lagi. Tidak ada duplikatnya. Tidak mungkin hadir pengganti lain yang bisa menjadi persis seperti dia. Dan, setiap orang berhak menjadi diri sendiri, tanpa canggung dengan tatapan minus orang lain. Oleh sebab itu, setiap orang berhak menggunakan kebebasan dan inisiatifnya.

Prinsip otonom, seraya bebas mengekspresikan apa yang menjadi pikirannya, kini mengakar kuat di kompleks perumahan, padahal letak geografisnya tidaklah berada di tengah kota (apa lantas desa harus kolektif[?]). Prinsip individualis itu senada dengan egois. Egois dari kata latin ego, berarti ‘aku’, ‘saya’.

Egois yang melandasi pemikiran bahwa kepentingan diri perorangan mesti diakomodir, mesti dihargai, tidak dimatikan. Penghargaan akan kepentingan pribadi, mendorong setiap diri agar bisa menghargai diri sendiri, tidak mengidap penyakit minder, bisa berpenampilan wajar, penuh percaya diri, dan normal sesuai kemampuan yang dimiliki. Kemampuan yang tak dibuat-buat, kemampuan yang bukan “seakan” atau “seolah”.

Selain memuat nilai positif, individualis dan egois juga bisa mengantar si pelaku pada sikap hidup yang mendewakan pemenuhan kebutuhan ego dan penghargaan. Itu yang minus. Karena berpusat pada diri sendiri, yang mementingkan diri sendiri, dan yang terus mencari kepentingan diri tanpa memperhatikan kepentingan orang lain, niscaya bermuara pada peniadaan orang lain. Orang lain, selain diri dan keluarganya atau kelompoknya, dianggap tidak ada, dianggap tak penting.

Meskipun berada dan hidup berdampingan. Rumah berjajar, bahkan berimpitan, tetapi keberadaannya bukan kebersamaan, bukan solidaritas, melainkan sekadar bersanding. Kita berhubungan satu sama yang lain, seakan-akan kebetulan saja, yang hakikatnya sama sekali tak diinginkan.

Perilaku egois yang minus, tidak sebatas menyangkut ranah ekonomi sosial, tetapi juga bisa mendera pada gaya bertuhan. Seorang penganut agama dan atau kepercayaan, yang berpikir individualis dan egois, akan meniadakan orang lain yang juga sedang menempuh jalan menuju Tuhan.

Orang tersebut tidak rela kalau selain dirinya bisa masuk surga. Tiket surga hanya pantas untuk dirinya saja, sedang orang lain kalau pun dapat surga, harapannya tetap berada di bawah tingkat kelas dengan dirinya. Kalau perlu yang lain cukup di neraka saja. Surga hanya berhak bagi dirinya.

Keberagamaan egois, yang mengutamakan pemahamannya sendiri, telah melahirkan corak beragama antisosial. Memang rajin menjalani ritual ibadah, tapi perilaku kesehariannya senantiasa menganggap remeh pihak lain. Orang tersebut akan senang, kalau yang lain terjebak pada lembah dosa yang penuh nista. Akan senang kalau yang liyan difitnah sebagai pendosa. Akan beriang ria sekira yang lain sebagai penganut ajaran sesat, ajaran setan.