Scroll untuk baca artikel
Opini

Kufur Nikmat Investasi

Redaksi
×

Kufur Nikmat Investasi

Sebarkan artikel ini

RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang disahkan oleh DPR, Senin lalu (5/10/2020), dengan sendirinya menghapus beberapa aturan lingkungan. Tidak ada lagi ketentuan terkait analisis dampak lingkungan (Amdal) sebagaimana UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Menteri Lingkungan Siti Nurbaya berdalih penghapusan Amdal bertujuan menyederhanakan proses pengujian kelayakan usaha. Katanya, setiap tahun ada sekitar 1000-1500 dokumen Amdal yang harus dinilai. Dan itu membuat terjadinya penumpukan beban di sejumlah tempat.

UU ini juga menghapus keberadaan Komisi Penilai Amdal, dan menggantinya dengan Tim Uji Kelayakan yang dibentuk pemerintah pusat. Tim Uji Kelayakan ini beranggotakan pemerintah pusat, daerah, dan ahli bersertifikat.

Banyak pegiat lingkungan mempertanyakan komposisi tim hasil UU Cipta Kerja tersebut. Tidak disertakannya partisipasi publik dinilai akan menciptakan asimetri informasi pada masyarakat di sekitar lingkungan yang berpotensi terdampak. Apalagi, akses teknologi komunikasi di daerah belum begitu beres. Alhasil, masyarakat semakin jauh dari kesempatan mengakses informasi tentang lingkungan mereka sendiri.

Dengan tidak terpakainya lagi Amdal sebagai dokumen utama penentu kelayakan usaha, kehidupan masyarakat yang bergantung lingkungan menjadi terancam. Petani yang bergantung pada baku mutu tanah; nelayan yang bergantung pada kualitas air; buruh yang bergantung pada bagaimana perusahaan menjaga kelangsungan hidup mereka, dll; kalah dengan UU yang melayani kepentingan investasi.

Ambisi Jokowi

Minggu 20 Oktober 2019, Joko Widodo untuk pertama kalinya berpidato tentang Omnibus Law. Latar belakang pidato itu ialah persoalan birokrasi yang dinilainya ruwet. Latar depannya, Jokowi ingin keruwetan itu hilang sehingga investasi mudah masuk Indonesia.

Bobot prioritas investasi itulah, yang mendasari keinginan pemerintah menciptakan iklim serba memudahkan bagi pelaku usaha.

Investasi, harus diakui, adalah faktor penting membangun ekonomi. Soal itu, pemerintahan Jokowi era pertama (2014-2019) telah mengeluarkan banyak paket kebijakan, mulai Online Single Submission (OSS) hingga keringanan pajak (tax allowance dan tax holiday). Hasilnya: cukup baik.

Pada Januari 2019, Country Director Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo Chaves bahkan memuji Indonesia sebagai negara tujuan investasi yang menjanjikan. Realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) selalu meningkat.

Investasi di Indonesia bahkan mencapai Rp809,6 triliun pada tahun 2019, yang terdiri dari PMDN sebesar Rp423,1 triliun dan PMA Rp386,5 triliun.

Tentu ini memunculkan tanya: ketika investasi tidak bisa dibilang buruk, kenapa pemerintah mengemplang aturan-aturan penting yang pada gilirannya merugikan orang banyak?

Sekali lagi, kita memang tidak bisa menghilangkan peran investasi. Paling tidak, investasi memungkinkan sebuah negara untuk memberi keuntungan dan harapan bagi rakyatnya. Dengan catatan, dua hal itu baru bisa diterima bila biayanya setimpal.

Tapi apakah biaya hari ini setimpal? Celakanya tidak. Terlalu banyak hal yang dikorbankan bagi sebuah peraturan perundangan yang tidak menaruh rakyat sebagai prioritas. Dan jika UU Omnibus Law tidak segera dicabut, sama artinya pemerintah menegaskan dirinya setara penjajah—atau lebih parah, kanibal yang memakan sesama bangsa sendiri. []