Scroll untuk baca artikel
Lingkungan

Greenwashing: Cara Industri Fashion Menipu Konsumennya

Redaksi
×

Greenwashing: Cara Industri Fashion Menipu Konsumennya

Sebarkan artikel ini

Sebagian besar merek fesyen terlibat dalam dosa dengan mengiklankan produk yang tidak berkelanjutan sebagai ramah lingkungan, hijau, dan etis. Tindakan tidak etis ini disebut greenwashing (pencucian hijau).

BARISAN.CO – Zara adalah salah satu pencipta fast fashion terbesar. Desainer mengeluakan 12.000 desain baru per tahun. Untuk meningkatkan reputasi brand, Zara berencana menggunakan bahan berkelanjutan pada tahun 2025. Namun, banyak yang skeptis dengan inisiatif tersebut.

Brand asal Inggris, H&M dianggap sebagai salah satu pencemar fesyen tersbesar. Stafnya dibayar rendah dan dikenal meniru mode kelas atas. H&M juga dituduh melakukan greenwashing dengan menampilkan tulisan “climate crusader” dan “eco-warrior”. Yayasan perusahaan mengumumkan berinvestasi US$100 juta untuk membuat konsumen mendaur ulang pakaiannya seperti mendaur ulang kaleng Coke. H&M dibanjiri kritikan karena klaim berkelanjutannya tidak jelas.

Banyak perusahaan yang menggunakan klaim hijau, namun tak ada pembuktiannya. Adidas pun dinyatakan bersalah pada September 2021 karena membuat klaim keberlanjutan yang salah dan menyesatkan oleh juri etika periklanan Prancis. Merek pakaian olahraga asal Jerman itu diputus bersalah setelah klaim 50 persen daur ulang untuk sepatu klasik Stan Smith.

Sebuah survei Google Cloud menanyakan kepada hampir 1.500 CEO tentang peran mereka dalam mengatasi perubahan iklim. Menurut survei itu, 58 persen pemimpin global mengaku bersalah melakukan pencucian hijau. Ini serupa dengan temuaan The New Climate Institute yang menemukan, klaim emisi nol bersih dari 25 perusahaan terkemuka sangat dilebih-lebihkan.

Mengutip Impakter, konsumen dan investor melihat dunia baru melalui lensa ESG (lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan). Ketika kapitalisme sadar menguasai masyarakat, perusahaan memanfaatkan greenwashing pada risiko penipuan.

Sektor fashion menjadi salah salah biang kerok. Industri ini bertanggung jawab atas 10 peersen emisi karbon global, pencemar sungai, menguras sumber air, dan 85 persen dari semua barang tekstil berakhir di tempat penguangan sampah (TPS) tiap tahunnya.

Merek pakaian meluncurkan lini pakaian berkelanjutan di tengah selera konsumen serta peluang pasar baru. Sayangnya, sebagian besar merek ini terlibat dalam dosa dengan mengiklankan produk yang tidak berkelanjutan sebagai ramah lingkungan, hijau, dan etis. Tindakan tidak etis ini disebut greenwashing (pencucian hijau).

Terjadi saat sebuah brand melebih-lebihkan upaya etis dan lingkungannya. Perusahaan mengiklankan produk, misalnya produk dapat didaur ulang, tetapi diproduksi dengan kondisi kerja yang berbahaya. Selain itu, tidak ada bukti klaim lingkungan, menggunakan implikasi samar dan inisiatif berkelanjutan sebenarnya, membesar-besarkan/berbohong tentang klaim ramah lingkungannya, atau juga menambahkan pohon atau warna hijau pada labelnya untuk menciptakan ramah lingkungan dianggap sebagai greenwashing.

Mengapa ini terjadi? Salah satu penyebabnya adanya kesempatan. Pasar mode etis global diperkirakan akan tumbuh pada tingkat pertumbuhan gabungan sebesar 9,7 persen dari US$6,35 miliar menjadi US$10,11 miliar di tahun 2025.

Konsumen gen Z juga memiliki rasa tanggung jawab sosial, moral, dan nilai yang lebih besar sehingga memaksa industri fast fashion, mengadopsi kebiasaan belanja yang berkelanjutan dan sadar. Bagi 79 persen konsumen, mode berkelanjutan penting bagi mereka, namun kurangnya kesadaran lingkungan dan pengetahuan membuat 26 persen konsumen tidak yakin di mana pakaiannya diproduksi.

Inilah yang membuat kapitalisme mencoba meraup untung menggunakan greenwashing sebagai strategi pemasaran untuk membedakan dirinya dari kompetitor dan menarik konsumen dengan kata kunci ramah lingkungan dan etika terus berkembang.