Scroll untuk baca artikel
Pojok Bahasa & Filsafat

Mudik

Redaksi
×

Mudik

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Konon mudik dari asal istilah pulang ke udik. Tentu yang membawa penamaan ini orang daerah yang urban di Jakarta. Sebab terasa kental betul bahasa Betawinya. “Mau pulang ke udik, Cenang?” tanya ibu juragan kontrakan.
“Iya, Mak, lebaran sama sedulur…”

  • Iya deh Lur, Kris Dayanti ya
  • Kok Kris Dayanti
  • Itu apa nyang ati-ati di jalan
  • O Titi DJ
  • Oh iye..lupe ane…

Para urban season itu tentu tidak membawa istilah mudik doang. Tapi juga berapa milyar rupiah yang selama itu menumpuk di ibukota negara, setahun sekali menyebar ke daerah-daerah. Satu gerak kecil ekonomi nasional-regional yang digerakkan dari bawah.

Satu kenyataan yang berkebalikan dari teori presiden Amerika, Joe Biden. Kasih investasi bagi orang-orang kaya agar cecerannya dinikmati orang-orang kecil. Ibarat kuda dikasih makan, remahnya akan disantap para burung.

Sebenarnya ada teori kelanggengan yang berlangsung sepanjang tahun. Misalnya, terutama, para pedagang warung Tegal (warteg) di Jakarta. Belakangan merambah ke kota-kota besar lain. Daerah asal mereka sebenarnya dari kabupaten Brebes, tapi istilahnya terlanjur warteg bukan warbres. Yakni, dari daerah Sidakaton dan Sidapurna.

Sidapurna, asal pedagang warteg di Jakarta, merupakan kampung kaya di kabupaten Brebes. Sekaligus menjadi basis andalan hidupnya ekonomi hasil bumi daerah ini. Sebabnya mereka, juga mengangkut hasil bumi asal berupa ikan, bawang, jeruk, dan bahan masakan lain.

Itu sebabnya kuliner warteg lebih murah meriah dibanding restoran lain. Sebabnya, bahan bakunya dari daerah sendiri, Brebes yang relatif dekat Jakarta. Lagi, menurut budayawan Yono Daryono, ada pengiritan bumbu, misalnya lebih mengandalkan bawang merah dan meniadakan bawang putih.

Ada pepatah urban legend: Mataram Sultan Agung boleh gagal menyerang Batavia, tapi warteg tidak pernah gagal menyerbu Jakarta.

Anehnya kalau para pedagang itu pulang kampung, jawabannya sama: mau mudik.

Menurut data koran Kedaulatan Rakyat, tahun ini sejumlah 18, 9 juta orang tetap ingin mudik lebaran. Jumlah urban dari Jakarta itu dengan tujuan mudik ke Jawa Tengah.

Akan tetapi mereka terhalang larangan mudik. Yakni untuk mencegah klaster Covid-19 spesial mudik. Pemerintah sudah menetapkan larangan mudik itu berlaku sejak tanggal 6-17 Mei 2021.

Tentu dengan pengecualian bagi armada bahan pangan, petugas kerja, orang sakit, yang tentu disertai surat jalan. Juga ada pelonggaran kewilayahan. Misalnya, daerah Semarang dibolehkan ke barat hingga Kendal, ke Selatan hanya sampai Magelang.

Gubernur Ganjar Pranowo sendiri dalam sidaknya sudah menginstruksikan, agar menjaga setiap jalan. Bilangnya dengan gurauan: jalan tikus, jalan jangkrik, jalan cacing harus dijaga.

Mungkinkah candaan Ganjar itu mau menutup pikiran sesungguhnya: betapa sekian milyar bahkan triliun gagal dialirkan ke Jawa Tengah.

Ya, tak lain lantaran Corona, membuat gagalnya budaya mudik.***