Scroll untuk baca artikel
Berita

Trump Terapkan Tarif Ekstra Tinggi, Ekonom Nilai Bisa Picu Stagflasi Global

×

Trump Terapkan Tarif Ekstra Tinggi, Ekonom Nilai Bisa Picu Stagflasi Global

Sebarkan artikel ini
Trump Terapkan Tarif
Donlad Trump

Tarif super tinggi ala Trump bukan hanya mengusik neraca perdagangan dunia, tapi juga mengancam stabilitas ekonomi negara-negara berkembang seperti Indonesia.

BARISAN.CO – Kebijakan tarif impor super tinggi yang diterapkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menuai sorotan dari banyak pihak, termasuk ekonom Indonesia Muhammad Syarkawi Rauf.

Menurut mantan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) itu, strategi ekonomi bertajuk Trumponomics berisiko memicu ketidakpastian global, menghambat perdagangan internasional, dan bahkan menjerumuskan ekonomi AS sendiri ke jurang stagflasi.

Dalam tulisannya, Kamis (10/04/2025) merespons artikel CNN “What Trump Actually Wants from Tariffs?” (11 Maret 2025), Syarkawi menjelaskan bahwa tarif tinggi ini merupakan bagian dari visi Trump untuk membuat “America Great Again”.

Ia meyakini tarif dapat menjadi panacea atau obat mujarab bagi masalah perekonomian AS, mulai dari defisit neraca dagang hingga lemahnya industri manufaktur.

“Tarif tinggi membuat barang impor lebih mahal, melindungi produk dalam negeri, dan mendorong relokasi investasi ke AS. Selain itu, tarif juga meningkatkan pendapatan negara tanpa membebani wajib pajak,” kata Syarkawi, yang juga merupakan Dosen FEB Universitas Hasanuddin dan eks Direktur Utama PT Berdikari.

Pada tahap pertama kebijakan ini, per 5 April 2025, Trump mengenakan tarif impor sebesar 10 persen kepada semua negara.

Tahap berikutnya, ia menerapkan tarif secara selektif kepada 60 negara dengan persentase yang jauh lebih tinggi. Indonesia termasuk di antaranya dengan tarif 32 persen, sementara China 34 persen, Vietnam 46 persen, dan Thailand 36 persen.

Menurut Syarkawi, formula yang digunakan Trump untuk menentukan tarif ini tidak memiliki dasar teori ekonomi yang kuat.

Rumus tarif hanya mengacu pada besaran defisit perdagangan AS dengan negara tertentu, dibagi total impor, dan dikalikan dua jenis elastisitas, yakni elastisitas permintaan terhadap harga dan elastisitas harga terhadap tarif.

“Formula ini secara otomatis menghukum negara yang memiliki surplus dagang besar terhadap AS, tanpa mempertimbangkan konteks dan struktur perdagangan global,” jelasnya.

Dampak dari kebijakan ini, menurut Syarkawi, telah terasa di berbagai belahan dunia. Ketidakpastian meningkat, pasar saham bergejolak, dan investor di negara-negara berkembang (Emerging Market Economies) mulai menarik dananya untuk dialihkan ke aset-aset safe haven seperti dolar AS.

Hal ini menyebabkan depresiasi mata uang, termasuk rupiah yang sempat menyentuh angka Rp17.261 per dolar AS.

“Di tengah gejolak tersebut, perekonomian AS sendiri berisiko mengalami stagflasi, yaitu kombinasi inflasi tinggi, pertumbuhan melambat, dan pengangguran meningkat,” ujarnya mengutip pandangan Murice Obstfeld dari Project Syndicate.