KEPUTUSAN politikus muda Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Tsamara Amany meninggalkan lembaga politik yang telah dibesarkannya sejak tujuh tahun lalu dan menjadi pimpinan partai anak muda ini sejak lima tahun silam, dianggap sejumlah kalangan termasuk jamaah netizen sebagai keputusan yang tepat.
Tentu sikap yang diambil Tsamara ini sangat mengejutkan publik, mungkin juga bagi kader dan pengurus PSI. Selama ini tak pernah terendus ada konflik karena lagu dan paduan suara yang dibawakan PSI dalam satu orkestra.
Selama ini seperti ada pakem dalam kalangan PSI haram mengkritik pemerintahan Jokowi dan pemerintah daerah lainnya kecuali Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Positioning ini yang menjadikan partai anak muda ini lebih banyak berkutat pada urusan di Jakarta daripada di daerah lain yang sejatinya lebih parah dari masalah di Ibu Kota.
Namun lantaran Anies memiliki elektoral tinggi, PSI mengambil kebijakan ganda. Selain terus mengkritik Anies sehingga popularitas dan elektoralnya terus tergerus, PSI juga berharap mendapat limpahan suara dari perisakan tersebut.
Tapi dalam kenyataan, perisakan justru malah membuat Anies tambah melambung dan elektoralnya terus melesat. Sementara PSI justru semakin kekurangan oksigen untuk bernapas panjang karena publik dan netizen malah berbalik merisaknya.
Bila memang benar apa yang dikatakan Tsamara bahwa pengunduran dirinya sebagai kader dan pengurus bukan lantaran konflik internal minimal dalam diri alumnus Universitas Paramanadina itu terjadi konflik batin dalam dirinya.
Artinya, PSI kemungkinan sudah tidak sejalan dengan visi pribadi dan visi partainya. Ini disampaikan sendiri bahwa dalam video pengunduran diri yang diunggah dalam kanal YouTube dan Instagram pribadinya karena Tsamara ingin berkiprah di luar politik praktis.
Kendati Tsamara yakin partai politik adalah alat paling rasional dalam artikulasi kepentingan. Namun, Tsamara memutuskan untuk mengeksplore jalan lain dan memperjuangan isu di luar partai politik dan di luar cara-cara pragmatis.
Tsamara misalnya memiliki agenda untuk memperjuangkan kepentingan dan isu-isu perempuan. Isu ini justru selama ini tak pernah terdengar disuarakan kader dan politikus PSI. Selama ini mereka sibuk memelototi kegiatan Anies 24 jam.
Dari sini saja dapat terlihat bahwa Tsamara sudah tidak satu visi dengan PSI. PSI pun terlihat semakin pragmatis. Ini dimulai dengan keputusan untuk berkoalisi dengan pemerintah berkuasa. Belakangan sikap pragmatis itu diperlihatkan dengan menolak penundaan pemilu tetapi mendukung perpanjangan masa jabatan presiden. Sebuah ironi dari partai anak-anak muda!
Alasan lainnya, Tsamara keluar dari PSI karena melanjutkan kuliah masternya di New York University dalam bidang Public Policy & Media Studies dengan beasiswa Fulbright.
Mundurnya Tsamara tentu kerugian bagi PSI. Selama ini Tsamara lebih menonjol sebagai ikon PSI dalam sejumlah perdebatan panas, dalam forum diskusi dan perbincangan politik di televisi. Kendati usianya masih terhitung belia, Tsamara memiliki artikulasi yang bagus dalam berdebat dan sanggup mengontrol emosi.
Ketika ramai diperbincangkan di pelosok Tanah Air, Tsamara memantaunya dari Amerika Serikat. Semoga dari jauh Tsamara semakin bijak dalam memandang permasalahan di Indonesia tidak hanya sibuk dengan merisak Anies.
Sikap Tsamara ini bisa jadi model yang dipraktikkan almarhum sastrawan Ajip Rosidi. Ketika pulang dan pensiun sebagai dosen di Jepang tokoh Sunda itu tidak menetap di Jawa Barat melainkan malah menghabiskan masa tuanya di Magelang.