Scroll untuk baca artikel
Kesehatan

Tuberkulosis; Penyakit Pembunuh Menular Kedua

Redaksi
×

Tuberkulosis; Penyakit Pembunuh Menular Kedua

Sebarkan artikel ini

Jenderal Soedirman , George Orwell, Ho Chi Minh, Desmond Tutu, Norman Bethune, dan Vivian Leigh meninggal setelah menderita tuberkulosis. Tahun 2013, sebuah jurnal penelitian menyebut, penyakit ini bisa menjadi pandemi.

BARISAN.CO – Pada tahun 2020, Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kematian karena tuberkulosis (TBC) sebanyak 1,5 juta jiwa. Penyakit ini menjadi penyebab kematian ke-13 dan pembunuh menular kedua setelah Covid-19.

Tahun itu, WHO perkirakan 10 juta orang jatuh sakit tuberkulosis. Sedangkan, Indonesia menjadi penyumbang kasus TBC tertinggi ketiga di dunia.

Dalam Forum Dialog Nusantara (FDN), epidemiolog UI, Pandu Riono menyampaikan, untuk menghadapi pandemi, tidak ada boleh ada pikiran pandemi Covid-19 akan menjadi pandemi terakhir.

“Itu hampir ga mungkin itu, hanya bahasa retorika. Kita harus sadar penuh, misalnya masalah penyakit tuberkulosis. Itu penyakit yang sudah ratusan tahun sejak peradaban manusia. Bahkan di Candi Borobudur ada ukiran yang mengisahkan penyakit itu dan Jenderal TNI Soedirman meninggal bukan karena perang tapi karena penyakit tuberkulosis,” ungkap Pandu pada Selasa (24/5/2022).

Namun bukan hanya Jenderal Soedirman saja, TBC juga merenggut nyawa novelis terkenal, George Orwell. Selain itu, ada mantan Perdana Menteri Vietnam Utara, Ho Chi Minh; peraih Nober Perdamaian, Desmond Tutu; ahli bedah, Norman Bethune; dan aktris berkebangsaan Inggris, Vivian Leigh yang meninggal setelah menderita tuberkulosis.

Tahun 2013, sebuah jurnal berjudul “The Next Pandemic – Tuberculosis: The Oldest Disease of Mankind Rising One More Time”, yang dipublikasikan oleh BJMP menyebut, TBC bisa menjadi pandemi berikutnya.

Sejarah Tuberkulosis

Mengutip News Medical, TBC telah dikenal sejak zaman purbakala. Diyakini, genus Mycobacterium hadir sekitar 150 juta tahun yang lalu dan varian awal, M. tuberculosis berasal dari Afrika Timur sekitar 3 juta tahun lalu.

Studi tentang mumi Mesir (2400-3400 SM) mengungkapkan, adanya kelainan bentuk tulang terkait dengan TBC, namun belum ada bukti bahwa penyakit ini ditemukan di papirus Mesir. Deskripsi mengenai TBC awalnya ditemui di India dan Cina masing-masing pada 3300 dan 2300 tahun lalu. Selain itu, dalam buku Alkitab yang menggunakan kata Ibrani ‘schachepheth’ juga menyebutkan TBC untuk menggambarkan tuberkulosis.

Di abad pertengahan, bentuk klinis baru TBC diilustrasikan sebagai skrofula (penyakit kelenjar getah bening di leher). Di Inggris dan Perancis, penyakit ini dikenal sebagai kejahatan raja dan ada mitos populer, penyakit ini dapat disembuhkan melalui sentuhan raja. Praktek ini berlanjut hingga beberapa tahun. Terakhir, digunakan pada masa kerajaan Ratu Anne.

Tahun 1834, Johann Schonlein pertama kali menciptakan istilah tuberkulosis. Awal abad ke-19, terjadi perdebatan ilimah mengenai penyakit ini. Teori yang muncul saat itu, TBC dianggap sebagai penyakit menular, keturunan, atau sejenis kanker.

Seorang dokter Jerman, Philipp Friedrich Herman Klencke pada 1843, secara eksperimental memproduksi bentuk TBC manusia dan sapi untuk pertama kalinya dengan menginokulasi ekstrak dari tuberkel milier ke dalam hati serta paru-paru.

Hingga pada tahun 1921, Albert Calmette bersama Jean-Marie Calmille Guerin mengembangkan vaksin Bacille Calmette-Guerin (BCG) sebagai karya eprintis menju langkah pencegahan penyakit TBC.

Selain vaksin pencegahan, hadir terobosan besar lainnya berupa antibiotik. Tahun 1943, antibiotik streptomisin tuberkulosis dikembangkan oleh Selman Waksman, Elizabeth Bugie, dan Albert Schatz.

Kini, ada empat antibiotik yang tersedia, yaitu; isoniazid, pirazinamid, etambutol, dan rifampisin yang digunakan untuk pengobatan TBC. Sejak tahun 2000, diperkirakan 66 juta nyawa telah diselamatkan melalui diganosis dan pengobatan TB. Artinya, ada harapan bagi pasien untuk sembuh total. Namun, dalam masa pengobatan tersebut, pasien harus memiliki kedisiplinan dan kesabaran tinggi. Sebab jika tidak, penyakit menjadi lebih sulit diobati dan pengobatan membutuhkan waktu yang lebih lama serta obat yang lebih keras. [rif]