Sehingga bagi Erich Fromm, yang penting bukan soal menghilangkan modus memiliki, tetapi apakah (dan sejauh manakah) sikap batin seseorang beralih dari orientasi memiliki menuju orientasi menjadi. Ketika memiliki sudah tidak lagi dipandang penting, tidak relevan pulalah apakah seseorang mempunyai sedikit lebih banyak daripada orang lain.
Dengan begitulah, sehingga dapat dimengerti bahwa hidup bukan hanya dicirikan secara lahiriah tetapi juga oleh batin.
Sejauh ini, pemahaman lahiriah menyebut bahwa manusia pada dasarnya malas, pasif, hampa, dan tidak suka bekerja atau beraktivitas lain, kecuali bila mereka didorong insentif akan memperoleh keuntungan material, atau kelaparan, atau rasa takut akan hukuman.
Namun bagi Erich Fromm tidak demikian. Menurutnya, yang inheren dalam diri manusia bukan hanya sifat lahiriah yang malas dan pasif itu. Tetapi, manusia juga punya akar batiniah untuk menjadi: untuk mengekspresikan kemampuannya, aktif, terhubung dengan orang lain, dan terbebas dari penjara keegoisan diri.
“Dinamika hakikat kemanusiaan,” kata Fromm, “Terutama berakar pada kebutuhan manusia untuk mengekspresikan kecakapan-kecakapannya kepada dunia, alih-alih di dalam kebutuhannya untuk memanfaatkan dunia sebagai sarana pemenuhan berbagai kebutuhan fisiologisnya.”