Kajian Badan Kebijakan Fiskal bahkan sempat mendefinisikan kesinambungan fiskal sebagai suatu kondisi yang menunjukkan terwujudnya fiskal yang sehat secara terus-menerus yang diindikasikan dengan relatif terjaganya defisit anggaran dan menurunnya rasio utang pemerintah terhadap PDB.
Dikatakan bahwa salah satu upaya untuk menjaganya dengan mengendalikan tingkat kerentanan (vulnerability) dalam batas toleransi. Kerentanan fiskal adalah suatu kondisi tertekannya ketahanan fiskal sehingga berpotensi menurunkan kemampuan pemerintah dalam memenuhi kewajibannya (solvabilitas), serta menghambat proses pencapaian target-target pembangunan.
Sebelum terjadinya pandemi, kondisi fiskal Pemerintah sejatinya sudah tidak bisa dikatakan sehat atau baik-baik saja. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun telah memberi “peringatan” terkait hal ini melalui Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) bernomor 19e/LHP/XV/06/2020, tertanggal 15 Juni 2020. LHP itu tentang hasil reviu atas kesinambungan fiskal hingga akhir tahun 2019.
LHP BPK antara lain melakukan reviu atas laporan analisis unsur kesinambungan fiskal yang menjadi sorotan utama berupa indikator kerentanan utang, unsur proyeksi dan kewajiban kontinjensi. Salah satu acuan BPK melakukan reviu adalah pedoman dari International Standard Supreme Audit Institution (ISSAI). Terutama mengikuti rekomendasi ISSAI 4411. Hasilnya, terdapat indikator kerentanan pengelolaan utang Pemerintah yang telah melampaui rekomendasi.
Rasio debt service terhadap penerimaan pada 2019 mencapai 38,31%, sedikit turun dari 2018 yang sebesar 39,06%. Jika APBN 2020 menurut perpres 72, akibat adanya pandemi, sesuai target, maka rasio ini lebih dari 45%. Padahal batas atas yang direkomendasikan oleh International Monetary Fund (IMF) hanya sebesar 35%. Memang lebih rendah dari batas atas dari International Debt Relief (IDR), namun juga telah melampaui yang direkomendasikan sebesar 28%.
Bagaimanapun, tren naiknya rasio ini mengindikasikan peningkatan penerimaan negara tidak sebesar peningkatan pembayaran cicilan pokok dan bunga setiap tahunnya.
Rasio bunga terhadap penerimaan juga disebut BPK telah mengalami tren peningkatan yang melampaui batas atas yang direkomendasikan. Rasionya pada tahun 2019 mencapai 14,10%. Pada 2020 diprakirakan akan mencapai 19,93%. Jauh melampaui rekomendasi IDR di kisaran 4,6-6,8%, dan rekomendasi IMF di kisaran 7-10%.
Peningkatan rasio ini menunjukkan peningkatan belanja bunga tidak diiringi oleh peningkatan penerimaan negara.
BPK mengingatkan pula tentang tren peningkatan rasio saldo (posisi) utang terhadap penerimaan. Pada tahun 2019 mencapai 244,31%. Sedangkan rekomendasi IMF 90-150%, dan rekomendasi IDR sebesar 92-167%.