LHP BPK antara lain melakukan reviu atas laporan analisis unsur kesinambungan fiskal yang menjadi sorotan utama berupa indikator kerentanan utang, unsur proyeksi dan kewajiban kontinjensi. Salah satu acuan BPK melakukan reviu adalah pedoman dari International Standard Supreme Audit Institution (ISSAI). Terutama mengikuti rekomendasi ISSAI 4411. Hasilnya, terdapat indikator kerentanan pengelolaan utang Pemerintah yang telah melampaui rekomendasi.
Rasio debt service terhadap penerimaan pada 2019 mencapai 38,31%, sedikit turun dari 2018 yang sebesar 39,06%. Jika APBN 2020 menurut perpres 72, akibat adanya pandemi, sesuai target, maka rasio ini lebih dari 45%. Padahal batas atas yang direkomendasikan oleh International Monetary Fund (IMF) hanya sebesar 35%. Memang lebih rendah dari batas atas dari International Debt Relief (IDR), namun juga telah melampaui yang direkomendasikan sebesar 28%.
Bagaimanapun, tren naiknya rasio ini mengindikasikan peningkatan penerimaan negara tidak sebesar peningkatan pembayaran cicilan pokok dan bunga setiap tahunnya.
Rasio bunga terhadap penerimaan juga disebut BPK telah mengalami tren peningkatan yang melampaui batas atas yang direkomendasikan. Rasionya pada tahun 2019 mencapai 14,10%. Pada 2020 diprakirakan akan mencapai 19,93%. Jauh melampaui rekomendasi IDR di kisaran 4,6-6,8%, dan rekomendasi IMF di kisaran 7-10%.
Peningkatan rasio ini menunjukkan peningkatan belanja bunga tidak diiringi oleh peningkatan penerimaan negara.
BPK mengingatkan pula tentang tren peningkatan rasio saldo (posisi) utang terhadap penerimaan. Pada tahun 2019 mencapai 244,31%. Sedangkan rekomendasi IMF 90-150%, dan rekomendasi IDR sebesar 92-167%.
Penulis memprakirakan berdasar angka-angka dalam Perpres 72/2020, rasio akhir tahun nanti bisa mencapai 365%. Posisi utang kemungkinan mencapai Rp6.200 triliiun. Dan jika sesuai target, maka pendapatan negara akan sebesar Rp1.700 triliun.
Selanjutnya, utang selama tahun 2021 berdasar RAPBN akan bertambah sebesar pembiayaan utang yang sebesar Rp1.142,49 triliun. Jika kurs tidak berubah, setidaknya hanya berselisih amat kecil, maka posisi utang akan mencapai Rp7.400 triliun pada akhir tahun 2021. Asumsi kursnya sebesar Rp15.000 pada akhir tahun 2020 dan juga pada akhir tahun 2021.
BPK mengakui Pemerintah secara umum memiliki aturan fiskal berupa batas defisit anggaran dan batas pembiayaan melalui utang terhadap PDB. Namun BPK berpandangan aturan itu hanya melihat kondisi fiskal dalam spektrum jangka pendek atau pada saat tahun anggaran berjalan dan merupakan postmortem indicator. Apabila Pemerintah hanya diatur dengan aturan fiskal ini, kondisi tersebut tidak ideal untuk keberlangsungan fiskal jangka menengah, apalagi jangka panjang.
Secara substansi, BPK menilai Pemerintah perlu meningkatkan kesadaran akan pentingnya perencanaan kesinambungan fiskal jangka panjang untuk memastikan program dan layanan bagi masyarakat dapat terus diberikan secara optimal dan berkelanjutan di masa depan tanpa meningkatkan beban pembayaran utang oleh generasi berikutnya atau bertambahnya beban pajak dalam mengelola dampak demografis, perubahan iklim, serta biaya pemeliharaan dan pembaharuan infrastruktur.
Cukup jelas bahwa BPK telah mengingatkan Pemerintah untuk kondisi utang sebelum pandemi. Memang belum mengatakannya sebagai tidak aman dan tidak terkendali. Namun bukan lah penilaian yang menyebut kondisinya sedang tidak bermasalah, dan telah dikelola secara berhati-hati.
Adanya pendemi telah memaksa defisit APBN dan kemudian berutang lebih banyak. Semua indikator yang telah dibahas, memburuk secara signifikan. Namun, Pemerintah masih bersikeras mengklaim aman dan terkendali.