Scroll untuk baca artikel
Blog

Waspadai Meningkatnya Rasio Utang Sektor Publik Atas PDB

Redaksi
×

Waspadai Meningkatnya Rasio Utang Sektor Publik Atas PDB

Sebarkan artikel ini

SUSPI Bank Indonesia manyajikan posisi USP menurut denominasinya. Berupa rupiah sebesar Rp8.740 triliun dan ang berdenominasi valuta asing sebesar Rp3.500 triliun. Nilai valuta asing dikonversi dalam rupiah berdasar kurs tengah Bank Indonesia pada akhir tahun. Dengan kata lain, USP dalam valas telah mencapai 28,59% dari totalnya. Sebagian besar dalam dolar Amerika.

Tidak semua utang berdenominasi rupiah adalah kepada penduduk (residen) Indonesia. Seperti SBN rupiah yang dimiliki oleh pihak asing. Dan sebaliknya, ada utang valas kepada pihak domestik. Dalam hal kreditur ini, utang kepada pihak asing mencapai Rp3.775 triliun atau 30,84% dari total utang.

Khusus utang korporasi publik yang nonfinansial, porsi utangnya dalam valas lebih besar dari kelompok lainnya. Lebih dari 65,34% dari utangnya berdenominasi valas. Bisa dikatakan bahwa utang BUMN bukan lembaga keuangan memang lebih banyak dalam valuta asing. Sebagian utang valas ini terhadap pihak domestik. Porsi utang kepada pihak asing sebesar 61,14%.

Risiko utang kelompok sektor ini juga perlu diwaspadai terkait waktu jatuh temponya. Utang yang harus dilunasi kurang dari setahun ke depan mencapai 18,11% dari total utangnya.

Jika dikaitkan antara porsi dalam valas dan waktu jatuh tempo, maka permintaan valuta asing setahun ke depan antara lain dikontibusi oleh soalan ini. Pada sisi lain, keuangan beberapa korporasi akan memperoleh tantangan cukup berat karena masih dalam suasana pemulihan ekonomi. Terutama bagi BUMN yang tidak memperoleh pendapatan dalam valas, dan telah cukup terdampak buruk selama era pandemi.

Secara keseluruhan, kondisi utang sektor publik terkini dan proyeksinya ke depan akan mempersulit sektor korporasi swasta dan UMKM dalam hal pembiayaan baru. Akan terjadi “perebutan” sumber dana untuk dipinjam, yang kemungkinan diikuti oleh rigiditas penurunan bunga atau biaya utang. Padahal, penurunan bunga yang signifikan sangat diperlukan bagi proses pemulihan ekonomi.


*Awalil Rizky, Kepala Ekonom Institut Harkat Negeri