Sampai masuk jaman Mataram Islam, budaya ini terus mengalami proses kelanggengan ujian waktu. Dalam lakon “Perahu Retak” Emha Ainun Nadjib mengungkap kegelisahan itu: aku terus bepikir, apakah aku ini orang Jawa atau orang Islam.
Nah, dijawab oleh dialog Kalijaga, bahwa dalam diri setiap manusia ada suara mulia untuk menjawab perang batin itu: manunggalung kawula lan gusti, dalam sesanti rahmatan lil alamin.
TANCEP KAYON
Masuk kemerdekaan, Soekarno sang proklamator terinspirasi budaya moyang itu. Hasil dialog dengan guru wayangnya Ki Nartosabdho dari Ngesti Pandhowo Semarang. Tentang kepanditaan, kesatriaan, kejujuran, membela yang lemah. Tentang umaroh, ghoiroh, fitroh, baqoh (semar, gareng, petruk, bagong ~ ponokawan itu).
Oleh Soekarno nilai-nilai itu menjadi: kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, keadilan. Melalui rembuk diusulkan ada: ketuhanan. Itu sebabnya ada anggapan nilai ketuhanan sekadar tambahan. Tidak terpikir ini proses penggalian ideologi bangsa Indonesia berdasar filosofi bangsa. Proses penggejawantahan watak bangsa, yang dalam proses lanjut menjadi Pancasila.
Pancasila dengan sesanti Bhineka Tunggal Ika, berbeda tapi tetap satu. Perbedaan paham yang ada memang telah disadari oleh para pendahulu kita. Soekarno mematrapnya sebagai nasasos: nasionalis, agama, sosialis.
Merupakan satu kekuatan bangsa ini, sejak penyadaran ke-nusantara-an. Lalu munculnya paham-paham tersebut dalam partai-partai politik. Atas multi parpol itu, Soekarno menegaskan mengenai dasar politik kita adalah: politik kebudayaan.
Ada kalanya perbenturan paham ini terjadi, sebagai ujian kekuatan bangsa: ujian kesaktian Pancasila. Puncaknya kala politik kebudayaan diubah menjadi politik ekonomi. Atas trauma bunuh dirinya ideologi dunia: kapitalisme, liberalisme, komunisme.
Semacam ada sejarah yang terpotong. Negara dan bangsa ini mesti menyambungnya kembali. Kembali dari politik ekonomi, ke politik kebudayaan. Sebab itulah sejatinya perekat perbedaan paham bangsa besar ini. Wasalam.
Sumber Bacaan:
Sejarah Nasional 1954