BARISAN.CO – Chairil Anwar merupakan figur bagi mereka yang pernah belajar sastra. Chairil Anwar lahir di Medan, 26 Juli 1922 dan meninggal pada usia 27 tahun di Jakarta pada tanggal 28 April 1949. Karyanya dipelajari dari Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi, sehingga karyanya menjadi satu inspirasi kemajuan bidang kesusastraan.
Chairil Anwar merupakan penyair angkatan ’45 yang dijuluki “Si Binatang Jalang.” Julukan itu diambil dari puisinya yang berjudul Aku:
AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Sebagai penyair, Chairil telah menelurkan beberapa karya. Chairil telah menulis 96 karya, mulai menerbitkan sajak-sajaknya pada tahun 1942. Sajak pertama yang diterbitkan berbicara tentang kematian.
Sajak pertama yang ditulis Chairil Anwar berjudul “Nisan” dikhususkan untuk sang nenek. Tentang sajak kematian karya Chairil didapati ketika neneknya meninggal. Chairil menuliskan, “Tak kutahu, setinggi itu atas debu / dan duka maha tuan bertakhta.”
Karya Chairil Anwar dikompilasikan dalam 3 buku yakni Deru Campur Debu yang terbit tahun 1949. Selanjutnya Kerikul Tajam yang Terampas dan Yang Putus (1949). Sedangkan yang ketiga, bersama Asrul Sani dan Rivai Apin pada tahun 1950 berjudul Tiga Menguak Takdir.
Budayawan Eko Tunas mengatakan Chairil saat menulis pengalaman pahitnya. Lalu para kritikus arogan mengkritik hanya soal bahasanya. Bahasa puisi Chairil yang dikatakan telah malampai angkatan sebelumnya.
“Kalau Chairil masih hidup tentu dia akan marah, telah dikonyoli para kritikus arogan,” tegasnya.
Dewan Pembina Kasatmata ini menyukai puisi-puisi karya Chairil Anwar karena Chairil sosok yang mampu menyimpan pengalaman yang dasyat.
Eko Tunas menanyakan, kalau kita bertanya mengapa banyak teks dari puisi Chairil terkenal.
“Tak lain karena sebagaimana sifat teks, selalu lahir dari pergulatan hidup manusia di belakangnya. Satu proses pengalaman yang melahirkan satu jatidiri ungkapan bahasanya yang tersendiri,” tuturnya.
Eko melanjutkan, ingat saja satu teks dari puisi Chairi: “mampus kau dikoyak-koyak sepi”. Atau bahkan teks dari puisi pertama yang ditulis Chairil: “bukan kematian benar menusuk kalbu”. Sampai teksnya yang paling terkenal: “aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang.”
“Begitu juga teks ‘Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya‘ inspirasi dari Chairil Anwar,” ucap Eko.