Scroll untuk baca artikel
Blog

Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya

Redaksi
×

Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya

Sebarkan artikel ini

MATA BUDAYA (11)

Kita tidak tahu syair asli lagu Indonesia Raya. Tapi konon Bung Karno tidak berkenan dengan dua larik syair karya WR Soepratman. Seperti yang dikatakan kepada perdana menteri Roeslan Abdoel Ghani, “ini kurang revolusioner, Roeslan.”
“Ya, Paduka …”

“Kita musti cari penyair yang bisa mengubahnya.”
“Ada seorang penyair hebat, tapi…” Roeslan membisiki Bung Karno.
Tukas Bung Karno, “demi revolusi mari kita temui si binatang jalang.”

Seting lokasi itu ada digambarkan dalam skenario “Aku” karya Syumanjaya. Satu gerbong barang terongggok di sudut stasiun. Ada tikar butut dan bantal kumal. Lalu seorang perempuan berdaster cuma, tergolek tampak dalam keadaan hamil.

Singkat kata dua larik itu diubah Chairil Anwar menjadi:

Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya

Bung Karno pun menyambut girang, “ini baru progresif revolusioner..!”

Persetujuan Bung Karno seperti membuat Nota Bene atas perdebatan Soekarno dan Hatta sebelum kemerdekaan. Hatta menginginkan, membangun bangsa dulu baru merdeka. Soekarno menghendaki, merdeka dulu setelah itu membangun bangsa.

Pada gilirannya proklamasi.

Bung Karno seperti memahfumkan pikiran Hatta: bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.

Pada era Orde Baru pembangunan menjadi politik ekonomi ala Sang Despot Jendral Besar Soeharto. Menteri Pendidikan Noegroho Notosoesanto mengejawantahkannya sebagai: pembangunan manusia Indonesia dan masyarakat Indonesia seluruhnya.

Akan tetapi saat itulah dimulainya pembangunan fisik di segala bidang. Di era reformasi muncul istilah: pembangunan infra struktur.

Sampai pada puncaknya di era Jokowi, pembangunan infra struktur lebih diarahkan pada usaha, bagaimana Indonesia menjadi negara nomer sekian di dunia internasional.

Jalan tol yang marak di era Soeharto makin diinfrakan. Jalan dilebarkan, termasuk pembangunan jalan di pulau-pulau terpencil. Kota-kota besar makin berubah wajah bak kota-kota dunia.

Semarang mencanangkan program Semarang sebagai kota internasional. Bahkan kota Tegal telah menyulap alun-alun menjadi taman air mancur.

Menyusul pembangunan infrastruktur ekonomi, pembangunan di sektor kebudayaan pun dimercusuarkan. Menyusul Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta yang dibangun super modern, Taman Budaya Raden Saleh pun tengah dibangun sama dan sebangun. Menuju pusat kesenian bertaraf internasional.

Pertanyaannya, dengan dibangunnya sarana fisik ekonomi dan kebudayaan, apakah masyarakatnya bisa menerima perubahan fisik memenara gading dunia.

Apakah manusianya siap?

Bagaimana dengan janji pembangunan bangsa?

Kita pun terus menyanyikan lirik lagu kebangsaan kita…..

Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Hiduplah Indonesia Raya.***