Oleh: Syaiful Rozak
Pengadilan adalah tempat dimana orang mencari keadilan. Ditempat ini para pencari keadilan (justiabelen) menggantungkan harapannya pada putusan hakim guna mendapatkan keadilan. Peradilan adalah benteng terakhir keadilan. Benteng itu tidak boleh roboh dan ditembus oleh kekuatan uang ataupun modal. Sebagai lembaga peradilan, maka keadilan adalah primer, sedangkan yang lainnya adalah sekunder. Hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan, seharusnya tidak boleh ada dalam kamus hukum.
Penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, advokat) adalah mereka yang menerapkan hukum dalam kehidupan masyarakat. Sebagai penegak hukum, tugas mereka tidak hanya menegakkan undang-undang, tetapi juga menegakkan keadilan. Hukum dan keadilan harus satu paket. Artinya hukum harus dijalankan secara adil. Apabila didapati suatu aturan undang-undang yang tidak mencerminkan keadilan, maka penegak hukum bisa memilih mengutamakan asas keadilan, dari pada kepastian hukum.
Akan tetapi, membaca hukum dikertas, tidak seperti membaca hukum dalam lapangan. Dalam praktek penegakan hukum di Indonesia, terdapat berbagai macam kepentingan yang saling bertarung satu sama lain. Bahkan tidak jarang terjadi persekongkolan dan kecurangan. Ada kesenjangan antara teori dan praktek. Hukum sebagaimana yang dipahami dikertas, tidak selalu bertepatan dengan kondisi di lapangan. Hukum seringkali berbelok arah ketika berhadapan dengan uang, kekuasaan dan kepentingan.
Praktik hukum yang demikian sebagai akibat dari sistem hukum yang liberal. Hukum modern yang lahir di Eropa memiliki watak individualisme. Sebagai konsekuensinya, maka kebebasan individu menjadi sesuatu yang harus diamankan. Dalam sistem hukum yang liberal itu prosedur menjadi sesuatu yang sangat penting.
Ironisnya hanya karena pertimbangan prosedur, keadilan harus dipinggirkan. Jaksa dan penasehat hukum seolah-olah dibiarkan untuk bertarung di pengadilan. Proses untuk mencari keadilan menjadi sesuatu yang rumit. Dalam hal ini, kenapa penegak hukum (jaksa, advokat, hakim) tidak bekerja secara kolektif untuk menegakkan keadilan dan kebenaran?
Otak-atik Pasal dalam Memenangkan Perkara
Pada tahun 2012 lalu, ada diskusi menarik di Indonesia lawyer club (ILC). Dalam diskusi tersebut mengangkat tema Denny: advokat koruptor=koruptor. Dalam pandangan saya, seorang koruptor kelas kakap bisa saja menyewa seorang advokat kondang untuk memenangkan perkaranya. Dalam hal ini seorang advokat tentu tak akan menolaknya. Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada seorang advokat yang memberatkan kliennya sendiri.
Seorang advokat sudah barang tentu akan membela kliennya dengan dasar membela hak hukumnya. Saya jadi bertanya-tanya, kenapa advokat itu tidak dimasukkan saja sebagai pegawai negeri yang digaji pemerintah, sebagaimana penegak hukum lainnya (polisi, jaksa, hakim).
Sehingga nantinya advokat dalam menjalankan tugas untuk menegakkan keadilan itu tidak terbebani oleh pihak-pihak yang membayarnya. Betapa hingga saat ini, tidak jarang masyarakat itu menganggap advokat itu sebagai profesi yang kurang baik. Mengenai advokat koruptor sama dengan koruptor tentu saja masih debateble. Kita tidak fokus menggiring masalah tersebut sebagai korupsi atau tidak, tetapi lebih pada refleksi cara berhukum kita.
Praktik penegakan hukum Indonesia dalam pemberantasan korupsi masih dihadapkan pada upaya perlawanan yang luar biasa. Perlawanan itu muncul dari pihak-pihak yang ingin melemahkan wewenang KPK melalui revisi undang-undang. Walaupun klaimnya adalah untuk menguatkan KPK, tetapi tidak sedikit dari pengamat dan ahli hukum justru mengatakan yang sebaliknya. Selain itu, perlawanan juga muncul dari pihak pelaku tindak pidana korupsi dengan menyiapkan infrastruktur hukumnya guna membebaskan diri dari jerat hukum.