TIGA tahun berdakwah secara rahasia. Saat itu, Nabi Saw benar-benar membatasi pesan Tuhan hanya sampai kepada Khadijah, Ali ibn Abi Thalib, Zaid ibn Haritsah, dan Abu Bakar. Berikut, putri-putri Nabi, dan kemudian atas ajakan Abu Bakar, menyusul Utsman ibn Affan, Abdurrahman ibn Auf, Sa’id ibn Abi Waqqash, Thalhah ibn Abdillah, Ja’far ibn Abi Thalib.
Lantas menyusul lagi, Abu ‘Ubaidah, Amir ibn al-Jarrah, Abu Salamah, Abu Dzar al-Ghifari beserta saudaranya Anis dan ibu mereka. Setelah itu, turunlah perintah, “Muhammad, berilah peringatan kepada kerabatmu yang terdekat!” (Asy-Syu’ara: 214).
Memenuhi perintah tersebut, Nabi saw. mengundang sekitar 40 orang dari keluarga terdekat, seperti Abu Lahab, Hamzah, Abu Thalib, dan Abbas. Dalam suasana jamuan makan siang, beliau mulai menyampaikan pesan Tuhan, tapi hanya sempat mengajak keluarga Ka’ab ibn Luaiy, Bani Murrah ibn Ka’ab, Bani Abd Syams, Bani Abdul Muththalib. Sementara yang lain, pergi meninggalkan rumah beliau, menuruti ajakan Abu Lahab. Ya, Abu Lahab mulai membuat masalah. Ia dan istrinya mulai menunjukkan ketidaksukaan kepada Nabi saw.
Pertemuan pertama pun kurang berhasil, lantas Nabi saw. mengundang lagi mereka ke rumah beliau dan menyatakan, “Aku tidak melihat ada seseorang dari kalangan masyarakat Arab yang dapat mengundang suatu kebajikan di tengah mereka melebihi apa yang aku sampaikan, yakni kebajikan duniawi dan ukhrawi. Allah mengutus aku untuk mengajak saudara-saudara ke arah itu, nah siapakah yang akan menyambut ajakanku ini?”
Mereka masih menolak ajakan Muhammad saw. Mereka memandang ajakan Muhammad saw. itu sambil lalu.
Setelah tiga tahun berlalu, persisnya pada tahun keempat kenabian, Allah menurunkan perintah lagi, “Sampaikanlah segala yang diperintahkan secara terbuka, dan berpalinglah dari orang musyrik. Cukuplah Kami sebagai pelindungmu dari orang yang menghina.” (Al Hijr: 94-95).
Dan, tercatat dalam sejarah, Nabi saw. di atas bukit Shafa, dengan suara lantang, beliau berkata, “Bagaimana pendapat kalian, seandainya aku menyampaikan bahwa di belakang lembah ini ada pasukan berkuda yang bermaksud menyerang kalian?”
Orang-orang yang berkumpul di depan beliau menjawab, “Kami tidak mengenal engkau pernah berbohong.”
“Aku memperingatkan kamu semua bahwa di hadapanku (di akhirat) ada siksa yang amat pedih.” ungkap Nabi saw.
Lantas, lagi-lagi Abu Lahab bikin ulah, “Binasalah engkau sepanjang hari! Apakah untuk menyampaikan ini engkau mengumpulkan kami?” Padahal, semua yang hadir, selain Abu Lahab, tidak tegas menanggapi setuju atau tidak dengan ungkapan soal balasan baik/buruk di kehidupan setelah mati.
Dan, Nabi saw. tidak membalas makian paman beliau itu, tapi Allah yang “tidak terima”, “Binasalah kedua tangan Abu Lahab, sungguh ia telah binasa. Tiada berguna baginya sedikit pun, baik kekayaan ataupun hasil kerjanya. Ia akan dimasukkan ke dalam neraka yang menyala. Demikian juga istrinya yang suka membakar dengan fitnah. Pada lehernya terdapat tali sabut yang dipintal.” (Al-Lahab: 1-5).
Prof. Quraish memaparkan bahwa Abu Lahab dan istrinya, Ummu Jamil Arwa binti Harb, memang selalu mengganggu Nabi. Ummu Jamil Arwa tak henti memfitnah, bahkan kerap menabur duri di jalan yang biasa di tempuh Nabi.
Ummu Jamil, seusai mendengar ayat tersebut dibacakan Nabi, ia meluruk beliau yang sedang duduk di masjid bersama Abu Bakar. Ia membawa batu yang hendak dilempar ke Nabi. Namun Tuhan menutup pandangan Ummu, sehingga tidak bisa melihat posisi duduk Nabi. Ummu hanya bisa memaki Nabi sebagai “yang tercela”.