BARISAN.CO – Sudah lama tak menulis. Di sini maksudnya. Karena di rubrik yang lain, saya masih menyempatkan waktu untuk menjahit kata-kata. Tapi, “rubrik yang lain” itu jangan dibayangkan sama dengan yang di sini. Sama sekali beda, sebab yang di sana itu, tidak lebih dari celotehan. Tidak lain hanya sebuah celetukan. Yang lain itu adalah akun facebook dan Instagram, sebuah wahana narsisisme.
Nah, disela asyik, lebih tepatnya terjerat, berselancar di panggung media narsis, Muhammad Iqbal mengetuk kesadaran saya. Bukunya, Asrar-i Khudi, bak palu Thor memukul alam sadar. Media sosial itu menyenangkan, tapi jangan larut, kira-kira begitu. Dan, memang demikian watak jagat baru itu, melenakan.
Asrar-i Khudi hadir. Saya menamainya kumpulan puisi filsafat diri. Ia tidak sedang berindah-indah kata. Asrar-i Khudi serasa menguliti keinginan-keinginan kita, yang jauh dari sejati. Bahwa puncak kedirian, tatkala menumbuhkan sifat-sifat Tuhan dalam diri. Puncak diri ada pada individu yang memiliki cita masa depan. Yang berani dan toleran. Yang kreatif dan bertanggung jawab.
Bahrum Rangkuti, dalam pengantar, menjelaskan makna khudi, yang berarti pribadi, ialah bentuk kecil dari khuda, yang berarti Tuhan. Tersebut, pribadi muslim adalah khudi, yaitu ego terbatas yang hendak menangkap ego tak terbatas, Khuda, Tuhan. Sang khudi ini, pribadi yang tidak lagi ada dalam waktu, tetapi waktu sudah menjadi dinamisme pribadi. Waktu adalah hidup, dan hidup itu pribadi.
Hidup adalah individual. “Sang aku” menjadi pusat utama. Tapi, bukan demi narsisisme macam hari ini. Sebab kian jauh jarak kita dari Tuhan, makin berkurang kepribadian kita. Sebaliknya, yang datang paling dekat berhadap-hadapan dengan Tuhan, sempurnalah “sang aku”. Persis gambaran Nabi Muhammad Saw. mikraj, berhadap-hadapan dengan Tuhan, dan saling tegur salam. Lantas, Nabi turun mendunia sebagai pejuang, bukan petapa.
Jelasnya seperti ini, kehidupan menurut Iqbal adalah proses yang terus-menerus maju. Oleh karenanya, pertama, kita harus terus-menerus mencipta. Kedua, harus mempertahankan suasana tegang, akibat persentuhan gairah mencipta yang membuncah dengan cita-cita. Ketiga, mengajak sesama menggapai kedudukan sebagai insan utama.
Insan utama Iqbal bukan macam Superman Nietzsche yang sanggup membunuh Tuhan. Insan utama Iqbal justru maujud dan bertahan lantaran kita bisa merawat cinta kasih. Cinta di mana kita membayangkan sifat-sifat Tuhan jumbuh dalam diri dan masyarakat. Bukan cinta hasrat antarlawan jenis. “Ada suatu yang abadi, diukir oleh insan penaka Tuhan menjadi juita sempurna.” ungkap Iqbal.
Selanjutnya, sang utama itu tidak begitu terpengaruh oleh kenyamanan yang disuguhkan dunia, lantaran telah menggenggam cita-cita yang lebih agung untuk diwujudkan. Ia jadi penaka Tuhan, sahabat Tuhan. Ia rekan Tuhan untuk mengubah situasi, “Sungguh, Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sampai mereka sendiri mengubah diri.” (Ar-Ra’d: 11).
Nyatalah, khudi itu mengenai diri dan mewujudkan diri. Diri yang menjadi tangan dan lidah Tuhan. Diri yang tampak terbatas, tapi sesungguhnya berpotensi tak terbatas. “Bangun pribadimu sedemikian hebat, sehingga sebelum Tuhan menentukan takdir bagimu, Dia bermusyawarah apa kehendakmu sebenarnya.”
Begitulah, Muhammad Iqbal menjentik telinga saya. Ia menggugah bahwa tidak zamannya lagi umat mabuk “agama”. Tanda kutip saya maksudkan, betapa kita gampang pasrah, termasuk pasrah kepada pemahaman jumut atas ritual agama. Kepada dogma-dogma yang memenjara akal rasional. Kepada perasaan yang mengagungkan takdir.