AKU bangun pagi lebih siang di hari libur ini, dan aku merasa lapar. Tetapi setelah menyibak tudung saji, yang terlihat hanya nasi dan tempe goreng, sisa makanan semalam. Aku pun jadi tak berselera mengisi perutku dengan hidangan itu. Hingga akhirnya, aku memutuskan untuk membeli sebungkus nasi campur dan beberapa buah kue di warung depan rumahku.
Saat aku tengah menyantap jajanan tersebut, istriku pun datang sambil membawa belanjaannya berupa ikan dan sayur-mayur. “Kenapa tak menunggu sebentar, sih, untuk makan besar? Apa Papi tak suka lagi dengan bubur jagung buatanku?” tanyanya, dengan raut yang tampak kesal.
Aku lekas menelan kunyahanku, lalu membalasnya dengan kilahan yang manis, “Tentu saja aku suka masakan Mami. Tetapi maaf, aku merasa sudah sangat lapar.” Aku kemudian menggodanya dengan senyuman dan kedutan alis. “Nanti, kalau masakan Mami sudah masak, aku pasti melahapnya, kok. Siapa yang tak suka dengan masakan Mami yang lezat?”
Ia sontak tersipu mendengar pujianku. Ia pun tampak bersemangat mengiris-iris jagung.
Tetapi sejujurnya, aku tidak begitu berselera menyantap masakannya. Itu karena cita rasa sajiannya, selalu saja kurang pas di lidahku. Kadang terlalu manis, terlalu asin, atau terlalu asam. Tak pernah benar-benar memiliki takaran yang tepat bagiku.
Atas permasalahan rasa hidangannya itu, aku pun senantiasa bertanya-tanya perihal sebabnya. Bisa jadi, masakannya sudah baik, tetapi lidahkulah yang gagal mengecap rasa yang enak. Namun setelah aku merasa melahap ketidakenakan yang terus-menerus atas sajiannya, aku pun memvonis bahwa perkara itu memang terjadi karena ketidakpandaiannya meramu masakan.
Tetapi sebagai suami, aku bersabar saja menyantap hidangannya. Apalagi, kami memang baru berumah tangga selama tiga bulan. Barangkali, ia masih perlu waktu untuk menyelaraskan rasa memasaknya dengan selera lidahku. Sebab itulah, aku senantiasa menyampaikan saran terkait rasa masakannya secara lembut, agar ia tidak tersingung dan terus belajar.
Karena kepedulian dan penghargaanku terhadapnya dalam hal masak-memasak, setiap kali sempat, aku akan membantunya menyiapkan bahan makanan. Di sela-sela itu, aku akan memberikan pendapat kepadanya perihal takaran bahan dan bumbu yang pas berdasarkan imajinasi dan ukuran pengecapanku sendiri. Seperti juga kali ini, setelah menyantap jajanan pagi, aku pun kembali mendampinginya meramu sajian bubur jagung.
“Apa jagungnya belum kebanyakan untuk bahan makanan kita berdua?” tanyaku, setelah menyaksikannya terus-menerus mengiris jagung muda. “Lebih baik, Mami buat secukupnya saja untuk santapan kita hari ini. Untuk besok, biar besok juga masaknya. Tak baik memakan makanan yang dipanaskan.”
Ia lantas tersenyum lebar. “Darto dan teman-teman Papi jadi ke sini hari ini, kan?”
Aku pun mengangguk dan mulai memahami maksudnya.
“Nah, kan lebih baik kalau aku masak banyak-banyak, biar mereka juga bisa mencicipi bubur jagung buatanku,” terangnya, dengan raut antusias. “Aku yakin, mereka pasti suka. Masakanku kan enak. Iya, kan?”
Karena kelimpungan meramu jawaban, aku mengangguk saja, dengan perasaan khawatir membayang-bayangkan situasi bersantap nantinya.
Tetapi aku tak mau mempermasalahkan atau menentang niatnya. Diam-diam, aku ingin menjadikan lidah teman-teman sekantorku sebagai alat penguji untuk mengetahui apakah lidahku yang tidak peka terhadap rasa enak, ataukah istriku yang memang tidak pandai dalam meramu masakan yang lezat.
Semalam, aku memang telah menceritakan kepadanya bahwa empat orang sekantorku di perusahan penjualan otomotif, akan bertandang ke rumah kami hari ini, sebelum tengah hari. Mereka adalah bawahanku, yang kuminta untuk datang dan menyerahkan laporan mereka secara mendadak perihal progres penjualan. Pasalnya, atasanku di kantor, juga tiba-tiba mendesak agar aku menyampaikan laporan kepadanya esok hari.