Scroll untuk baca artikel
Lingkungan

Penyusunan Perpres Nilai Ekonomi Karbon Terkatung 2 Tahun, Tunggu Apa Lagi?

Redaksi
×

Penyusunan Perpres Nilai Ekonomi Karbon Terkatung 2 Tahun, Tunggu Apa Lagi?

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI ketok palu terhadap penetapan tarif pajak karbon Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Nilai pajak yang disepakati ini lebih rendah dari yang diajukan Menteri Keuangan Sri Mulyani sebesar Rp75 per kilogram CO2e.

Kesepakatan ini diambil dalam rapat pembahasan tingkat dua Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan pada 4 Oktober 2021 kemarin, dan akan diberlakukan per tanggal 1 Januari 2022 mendatang.

Di dalam RUU ini disebutkan, pajak karbon dikenakan oleh negara terhadap emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Pengenaan pajaknya memperhatikan peta jalan pajak karbon dan peta jalan pasar karbon.

Peta jalan pajak karbon sendiri terdiri atas strategi penurunan emisi, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan, serta keselarasan dengan kebijakan lain-lain.

Nantinya, subjek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Tarif pajak karbon akan lebih tinggi atau sama dengan besaran tarif harga karbon di pasar karbon per kilogram.

“Implementasi pajak karbon menjadi sinyal atas perubahan behaviour dari pelaku usaha juga ditujukan untuk menuju ekonomi hijau yang makin kompetitif dan menciptakan sumber pembiayaan baru bagi pemerintah dalam rangka transformasi pembangunan yang berkelanjutan,” kata Sri Mulyani, mengomentari disahkannya aturan pajak karbon tersebut.

Nilai Ekonomi Karbon

Tidak sama dengan pembahasan pajak karbon yang cepat dan sudah diketok palu di atas, pembahasan Rancangan Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) masih tersendat.

Pemerintah sempat menjanjikan bahwa regulasi NEK yang nantinya menjadi dasar perdagangan karbon di dalam negeri ini akan terbit awal tahun. Namun, sudah dua tahun regulasi ini dibahas, dan belum ada tanda-tanda akan rampung.

Molornya penyusunan regulasi ini bisa berdampak besar bagi Indonesia. Tidak adanya aturan yang jelas akan banyak berpengaruh pada tercapainya target penurunan emisi gas rumah kaca yang ditetapkan pemerintah.

Dalam Perjanjian Paris, Indonesia memiliki target untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 sampai 41 persen pada tahun 2030 nanti—atau sembilan tahun dari sekarang. Sembilan tahun bukan waktu yang lama, sementara proses perubahan iklim sedang terus terjadi.

Maka untuk pemerintah Indonesia, regulasi NEK adalah sesuatu yang mendesak.

Kehadiran regulasi NEK jelas akan membawa sekian dampak positif. Apalagi, di luar sana banyak perusahaan besar telah berkomitmen mengimbangi emisi yang mereka hasilkan dengan skema membeli carbon offset.

Dalam pada itu, Indonesia adalah pasar carbon offset yang besar. Serapan karbonnya mencapai 25,18 miliar ton emisi pada hutan hutan tropis; 33 miliar ton emisi pada hutan mangrove; dan 55 miliar ton emisi pada lahan gambut.

Jika Indonesia memiliki aturan yang baik, semestinya dana-dana carbon offset dari dunia internasional itu banyak masuk ke Indonesia. Dan inilah mengapa tidak ada alasan lagi untuk menunda diresmikannya aturan Nilai Ekonomi Karbon. [dmr]