Scroll untuk baca artikel
Lingkungan

Menelisik Skema ‘Carbon Offset’ yang Mulai Banyak Dilirik Korporasi Besar

Redaksi
×

Menelisik Skema ‘Carbon Offset’ yang Mulai Banyak Dilirik Korporasi Besar

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Suhu bumi meningkat 1 derajat Celcius sejak revolusi industri Abad ke-18. Pada tahun 2016 di Paris, Prancis, sebanyak 196 negara termasuk Indonesia sepakat menekan emisi agar kenaikan suhu rata-rata global sebisa mungkin tidak melebihi 1,5 derajat Celcius sampai tahun 2030 nanti. Kesepakatan ini dikenal sebagai Paris Agreement.

Masing-masing negara, dalam Paris Agreement, menetapkan targetnya yang dituangkan pada dokumen Nationally Determined Contribution (NDC). Indonesia memasang target mengurangi emisi 41 persen atau setara 1,02 miliar ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e) hingga 2030.

Dokumen NDC negara-negara berbeda satu dengan lainnya. Pada dasarnya, memang ada banyak pilihan cara mengurangi emisi.

Ada yang fokus cegah kebakaran hutan, memperlambat deforestasi, mengubah bahan bakar listrik, pertanian, proses produksi, dan pengelolaan limbah. Dalam sektor energi, ada pula yang menolak izin pembangkit batu bara seperti dilakukan Kanada, Inggris, dan Prancis.

Tren terbaru, secara berangsur mulai banyak korporasi besar melirik skema carbon offset. Ini adalah opsi di mana korporasi dapat berinvestasi dalam sesuatu serta bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca, tetapi tidak termasuk operasi sehari-hari mereka.

Secara ringkas, carbon offset ialah tindakan menetralkan emisi setara CO2 yang dihasilkan di satu tempat dengan mengurangi emisi di tempat lain. Dengan demikian, sebuah korporasi di Amerika Serikat tetap diperbolehkan menjalankan produksi dan mengotori iklim, dengan alasan mereka sudah membayar insentif sekian miliar dolar kepada sebuah komunitas di Indonesia untuk melestarikan hutannya.

Tentu saja tidak ada satupun wacana yang lolos dari kecurigaan. Disebut-sebut, carbon offset hanya akan menjadi ajang cuci tangan negara maju atas praktik jahat mereka. Dengan kemampuan uang yang lebih besar, mereka punya relasi kuasa untuk mewajibkan negara berkembang mengendalikan emisi, sementara negara-negara maju ini boleh dan berhak lolos dari kewajiban yang sama.

Memang terbaca ada kecenderungan korporasi besar enggan bertanggung jawab atas krisis yang dirasakan seluruh dunia ini. Bahkan pada tahun 2018, Presiden AS Donald Trump menyatakan keluar dari Paris Agreement, dengan alasan itu merugikan ekonomi AS dan menguntungkan negara-negara lain.

Meski kini AS di bawah Joe Biden sudah kembali pada Paris Agreement, tebersit sinyal kuat bahwa negara maju punya asumsi dasar mengesampingkan pengendalian emisi gas rumah kaca.

Padahal dalam konteks emisi global, semestinya negara maju bertanggung jawab lebih besar atas emisi gas rumah kaca. Hal demikian disampaikan Manajer Kampanye WALHI Yuyun Harmono dalam webinar yang diadakan Lawalata IPB, Sabtu (5/5/2021).

“Dari 100 korporasi besar di dunia ini, terutama yang bergerak di industri ekstraktif, bertanggung jawab terhadap hampir 70 persen dari emisi di tingkat global. Harusnya mereka turunkan emisi lebih besar dibanding negara berkembang. Kalau kita turunkan 30 persen, mereka tiga kali lipat dari itu,” kata Yuyun Harmono.

Alasannya, korporasi-korporasi di negara maju telah lebih dahulu merasakan industrialisasi dibanding negara berkembang. Mereka bahkan sudah menikmati pembangunannya. Secara kumulatif, pemakaian energi pada negara maju juga 3-4 kali lebih besar dibanding negara berkembang, sehingga sumbangan emisinya lebih banyak.

Banyak korporasi transnasional sebetulnya menyadari pemakaian bahan bakar fosil seperti minyak dan batu bara adalah hal buruk. Namun, mereka tak mau menanggalkannya dalam aktivitas produksi lantaran faktor cuan.