BARISAN.CO – Dari kota asalnya, Solo, namanya hik atau “anjing kecil”. Ingat, Solo dengan keberadaan Keraton Surakartahadingrat, dikenal sebagai kota yang justru banyak melahirkan tokoh/gerakan perlawanan. Begitu sampai di Semarang terjadi pelecahan, disebut nasi kucing.
Nah, warung tenda remangnya mendapat sebutan angkringan. Boleh diartikan angkring atau pikul, atau boleh makan sambil nangkring. “Nasi rakyat” ini mulai muncul saat krisis di tahun 1996-an, tepatnya awal reformasi bin repotnasi bin lapor mati.
Tak ubahnya nasi bungkus, yang ini lebih irit. Hanya sekepal nasi dan lauk secuil ikan, biasanya dari ikan pindang murah-meriah yang memang biasa untuk makan kucing. Harga awalnya 500, kemudian 750, 1000, dan sekarang 1500 hingga 2000 rupiah. Lauknya berkembang, bisa balungan ayam, seserpih tipis telur dadar, segelintir kikil, atau sekepal nasi goreng rasa asin.
Angkringan khas Solo ini mengalami pembiakan ke kota-kota di Jawa, bahkan konon di luar Jawa. Termasuk kota-kota besar, bahkan Jakarta. Biasanya buka di malam hari.
Penggemarnya jangan ditanya, rata-rata mahasiswa dari semua klas sosial. Dengan uang 5000 rupiah, seorang mahasiswa bisa makan plus minum teh, kopi, jahe, susu atau susu jahe. Tak terbayangkan sebelumnya, angkringan telah memberi andil besar dalam mencerdaskan bangsa.
Angkringan lesehan berani bersaing dengan warung-warung lesehan yang semata-mata demi memenuhi hajat mengisi perut. Betapa tidak, komunitas terbentuk di lesehan-lesehan angkringan. Dari komunitas olahraga, sepeda, motor butut, facebook, mobil tua, pemandu lagu (pl), rekan-rekan waria, hingga komunitas seniman dan pengajian.
Nasi kucing telah membuat perlawanan terhadap sekadar nafsu mengisi perut. Juga terhadap resto-resto bergengsi yang hanya memenuhi nafsu lidah dengan harga mengawang-awang, terutama di hotel-hotel berbintang.
Plus dengan komunitas yang terbentuk, nasi kucing telah menciptakan satu nilai, bagaimana menyikapi sekaligus lebih memberi makna pada sekadar makan sekenyang-kenyang semewah-mewah. Sekaligus sebagai simbol perlawanan rakyat, terhadap keserakahan kaum reformis, kapitalis, borjuis nenek moyang koruptor-is.
Anjing kecil itu menyalak, meski suaranya kecil bahkan tidak ditakuti maling – apalagi perampok uang rakyat – tapi: dia sudah menyalak!