Scroll untuk baca artikel
Blog

Agar Kematian Ratusan Petugas KPPS dalam Pemilu 2019 Tak Terulang

Redaksi
×

Agar Kematian Ratusan Petugas KPPS dalam Pemilu 2019 Tak Terulang

Sebarkan artikel ini

Perlu ada jaminan pemilu mendatang tidak ada lagi ratusan petugas KPPS meninggal. Salah bila demokrasi harus memakan korban sebanyak itu.

BARISAN.CO Berapa ongkos menjalankan demokrasi di Indonesia? Terlalu mahal tak terperi. Pada pemilu 2019, misalnya, butuh 894 orang meninggal dan 5.175 sakit akibat kelelahan bertugas menyelenggarakan pemungutan suara.

Kematian mereka semestinya tak diuntukkan. Dan tentu saja tidak tepat jika mereka disebut sebagai ongkos menjalankan demokrasi. Bagaimanapun, mereka yang meninggal adalah manusia yang semula sehat, bermanfaat, dan bernilai bagi orang-orang di sekitarnya.

Pemilu serentak 2019 adalah pelajaran berharga. Harus ada jaminan tidak akan ada lagi ratusan petugas KPPS meninggal pada pemilu mendatang.

Ada banyak hal krusial yang perlu dituntaskan. Tetapi mula-mula, desain pemilu mendatang harus mampu meletakkan beban kerja secara manusiawi.

Pada 2019, KPPS mulai bekerja H-3 pemungutan suara, dimulai dari pengamanan logistik hingga menghitung perolehan hasil suara.

Petugas KPPS bertanggung jawab untuk mengawal 5 kotak suara, yaitu kotak Pilpres, pemilihan anggota DPD, DPR RI, DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten/kota.

Akibat banyaknya jenis surat suara itulah penghitungan juga semakin lama dan mengakibatkan waktu kerja yang panjang tanpa jeda. Dan faktor kelelahan petugas, Anda tahu, merupakan biang keladi banyaknya korban.

Dalam kajian lintas disiplin yang dilakukan Universitas Gadjah Mada (UGM), ditemukan beban kerja Petugas Pemilu berkisar antara 20-22 jam pada hari pelaksanaan Pemilu; 7,5 hingga 11 jam untuk mempersiapkan TPS; dan 8 hingga 48 jam untuk mempersiapkan dan mendistribusikan undangan.

Revisi UU

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) memiliki catatan menarik tentang ini. Disebutkan, akan lebih baik jika pemerintah menata ulang jadwal Pilkada melalui perppu atau revisi terbatas UU Pilkada.

Perludem juga menyebut agar pemerintah dan DPR mau mengubah format 5 kotak suara menjadi hanya 3 kotak suara, dengan cara menarik Pemilihan DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota dari jadwal serentak.

Usulan itu sesuai dengan Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019, yang menyatakan format Pemilu setidaknya harus menyerentakkan Pemilihan DPR, DPD, dan Presiden.

Oleh sebab itulah, sekalipun pemilihan DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota ditarik dari pemilu serentak, hasil pemilu tetap dapat dianggap konstitusional.

Menurut analisis ini, beberapa persoalan akan selesai sekaligus. Pertama, jumlah logistik yang harus diamankan dan didistribusikan dalam satu waktu lebih ringan.

Kedua, pemilih tidak mengalami kebingungan dalam memberikan suaranya, sebab hanya 3 jenis surat suara saja yang dipilih.

Ketiga, waktu penghitungan dan rekapitulasi perolehan hasil suara juga lebih singkat dan tidak menguras energi.

Rekrutmen dan Pemanfaatan Teknologi

Penataan pemilu mendatang juga perlu menimbang dimensi manajemen, terutama dalam memastikan bahwa petugas KPPS direkrut dengan standar kesehatan yang benar dan diberi honor yang setimpal.

Hasil investigasi kemenkes mengatakan, faktor kelelahan mengaktifkan penyakit bawaan yang diderita petugas, di antaranya Infarc Miocard, gagal jantung, koma hepatikum, strok, respiratory failure, meningitis, sepsis, dan asma.

Artinya, rekrutmen pemilu 2019 gagal melihat bahwa kesehatan adalah hal penting untuk dipastikan secara seksama. Tidak adanya standar kesehatan perlu diantisipasi pada pemilu mendatang.

Selain itu, perlu juga adanya pemanfaatan teknologi informasi di pemilu mendatang. KPU memang telah serius menggarap rekapitulasi elektronik usai peristiwa 2019.

Pada Pilkada Serentak 2020, KPU menguji coba Sistem Rekapitulasi Suara Elektronik (Sirekap). Setelah itu, Sirekap mulai disiapkan untuk Pemilu 2024.