MALAM itu, aku berjanji menemuinya. Seorang lelaki yang telah lama ku cintai. Entah kenapa, aku merasa suasananya berbeda.
Saat aku hampir tiba di tempat kami janjian, mendadak ia berlari dan mengagetkanku.
Tiba-tiba, dia berkata, “Ayo, kita menikah!”
Dahiku langsung mengernyit. “Apa-apaan ini?” tanyaku dalam hati.
Aku pun memberinya air minum setelah melihat bajunya kuyup oleh keringat.
Tak ingin berbasa-basi, aku pun bertanya dengan nada angkuh, “Kenapa kita menikah? Apakah harus?”
“Karena kita saling mencintai,” ia meraih tanganku seraya mengusap jari-jemariku.
“Apakah kamu yakin nantinya perasaan kita tidak akan berubah? Apa kamu bisa menjamin bahwa pasangan yang menikah karena perasaan cinta akan bahagia? Apa dasarmu memintaku menikahimu?”
Wajahnya masih nampak tenang. “Aku tidak yakin bahwa perasaan kita takkan berubah, tapi aku yakin pada upaya-upaya pertahanan yang akan kita buat saat menjalani biduk rumah tangga nanti takkan membuat perasaan kita berubah. Aku bisa menjamin bahwa pasangan yang menikah karena perasaan cinta akan bahagia karena amat jarang ditemukan pasangan yang menikah karena cinta. Dan sangat langka, ” matanya berkedip. “Karena aku sudah cukup mapan, sehingga aku berani mengajakmu menikah.”
Helaan nafasnya bisa ku dengar. Sepertinya ia mulai lelah dan khawatir.
“Lagi pula, bukankah ada sebuah kutipan dalam novel yang kau baca, hanya orang beruntung jika bisa saling mencintai lalu menikah. Benar, kan?
Sialan, lelaki ini bisa membalik keadaan. Aku takkan kalah.
“Apa tanda bahwa kamu sudah cukup mapan? Apa karena usahamu sudah sukses? Atau karena digit di rekeningmu? Dan apa kamu akan selamanya mapan seperti ini?”
Ia tersenyum tipis. Melihatnya tersenyum seperti itu, jantungku rasanya mau loncat.
“Sayang, ukuran mapan buatku adalah aku mampu menafkahimu, menafkahi keluarga kita nanti, dan tidak membuat kalian menungguku membawa makanan karena dapur kita dipenuhi makanan. Aku tidak yakin bahwa aku terus-menerus akan hidup mapan seperti ini. Sebab itu, aku meminta doa darimu sebagai istriku agar rezekiku terus lancar sehingga keluarga kita tidak akan kekurangan apa-apa, “
Aku memalingkan wajah. Bukan karena marah, namun karena aku malu jika ia tahu diriku terharu.
Selang beberapa detik kemudian, aku pun memeluknya. Ya, lelaki ini satu-satunya yang mampu membuatku takluk. Kepandaiannya bermain kata dan tanggungjawabnya selama ini membuatku mau melangkah lebih jauh, yaitu ke jenjang pernikahan.
Menikah bukan tentang apa yang akan diberikan, dimana tempat yang kalian tinggali. Akan tetapi menikah membutuhkan seseorang yang tepat menjatuhkan pilihan karena proses panjang yang dijalani nantinya akan amat melelahkan. Terlebih, dua kepala yang harus disatukan dalam pengambilan keputusan. [rif]