Kejahatan legislasi tidak meninggalkan jejak sidik jari, tetapi meninggalkan luka ekologis yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
WARGA negara mana pun yang menggunakan akal sehat tentu sepakat bahwa korupsi harus diperangi. Tetapi selama ini korupsi dipahami terlalu sempit, seolah hanya berkaitan dengan suap, pencurian anggaran, atau kerugian finansial negara.
Padahal tindakan apa pun yang merusak kepentingan publik, mencederai kedaulatan rakyat, atau menghancurkan ruang hidup masyarakat juga merupakan bentuk korupsi, meski tidak masuk kategori pelanggaran hukum positif. Kita lupa bahwa korupsi bukan hanya hilangnya uang, tetapi hilangnya keadilan.
Kesalahpahaman ini bisa dimengerti karena lembaga seperti KPK dirancang untuk menangani korupsi berbasis transaksi finansial. Akibatnya, korupsi yang tidak meninggalkan jejak uang seperti manipulasi regulasi, perampasan kewenangan, atau pemberian izin yang merusak lingkungan, tidak masuk radar penindakan.
Padahal dampaknya lebih luas, lebih panjang, dan lebih destruktif. Korupsi jenis ini bekerja melalui pena, pasal, tanda tangan, atau keputusan politik. Ia tidak terlihat, tetapi menghancurkan secara sistematis.
Di ranah legislatif dan eksekutif, bentuk korupsi semacam ini semakin sering tampak sebagai “kejahatan legislasi” kebijakan yang legal secara prosedural, tetapi menyengsarakan publik secara nyata.
Ini termasuk penyusunan undang-undang yang dipenuhi titipan kepentingan, penerbitan izin tambang di area berisiko, hingga perubahan aturan tata ruang yang mengorbankan keselamatan warga.
Sayangnya, tindakan ini jarang dipersoalkan. Tidak ada pasal yang menyebutnya korupsi, tidak ada lembaga resmi yang bisa langsung menindak, dan secara konstitusi masyarakat hanya bisa mengajukan gugatan yang panjang dan melelahkan. Sementara kerusakan yang ditimbulkan berlangsung puluhan tahun.
Contoh paling gamblang adalah praktik perizinan tambang dan pembukaan hutan. Banyak wilayah yang hari ini porak-poranda oleh banjir, longsor, atau tanah bergerak sebenarnya telah lebih dulu “dibuka jalannya” oleh dokumen yang sah: izin eksploitasi.
Izin itu sering dikeluarkan tanpa telaah ekologi yang serius, tanpa mendengar suara warga, bahkan bertentangan dengan rencana tata ruang.
Setelah hutan habis, gunung dikeruk, dan sungai berubah warna, barulah bencana datang. Tetapi kebijakan yang menjadi akar kerusakan tidak pernah disebut sebagai korupsi. Bukankah itu ironi?
Birokrasi menandatangani kematian ekologis suatu wilayah, dan kita menyebutnya legalitas, bukan kejahatan.
Perkara yang sama terjadi pada legalisasi pembukaan hutan untuk kebun sawit dan konsesi kayu. Banyak kawasan adat, konservasi, dan daerah aliran sungai yang seharusnya dilindungi malah diubah menjadi ladang investasi.









