Scroll untuk baca artikel
Blog

Ironi, Indonesia Negara Kaya tapi Gizi Buruk Masih Tinggi

Redaksi
×

Ironi, Indonesia Negara Kaya tapi Gizi Buruk Masih Tinggi

Sebarkan artikel ini
Oleh: Yusnaeni

Bukan lautan atau kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai, tiada topan kau temui

Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman

Begitulah potongan lagu Koes Plus yang berjudul “Kolam Susu”. Lagu era 70-an ini menggambarkan Indonesia sebagai negara yang subur dan kaya raya.

Kita semua pasti tahu, Indonesia merupakan negara kepulauan. Luas lautannya sekitar 3,25 juta km persegi, terbentang dari Sabang hingga Merauke. Bahkan tanah kelahiran kita ini berada di segitiga terumbu karang atau coral triangle.

Kondisi geografis itu membuat perairan Indonesia menjadi rumah bagi sekitar 1.650 spesies hewan akuatik.

Kini Indonesia berada di peringkat tiga setelah India sebagai negara penghasil ikan terbesar di dunia. Setiap tahun Indonesia mampu memproduksi ikan sebanyak 6,10 juta ton.

Tak hanya sebagai penghasil ikan terbesar, Indonesia juga masuk lima besar eksportir pertanian terbaik di dunia. Indonesia memiliki jumlah lahan pertanian sebesar 570 kilometer persegi dan ekspor komoditi pertanian mencapai Rp416, 8 triliun atau sekitar US$29, 21 miliar.

Tak heran jika Koes Plus menulis lirik, “tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Artinya tongkat kayu adalah singkong dan batu merupakan ketela. Jika keduanya di lempar ke tanah bisa menjadi tanaman yang bernilai ekonomis.

Logikanya dengan melimpahnya ikan sebagai sumber protein, juga tumpah ruahnya buah dan sayuran sebagai sumber vitamin, seharusnya masyarakat Indonesia sehat secara sosial, ekonomi, dan fisik.

Faktanya, Indonesia menduduki peringkat keempat sebagai negara dengan angka stunting yang cukup tinggi. Data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) Kementerian Kesehatan 2019 menunjukkan prevalensi balita stunting di Indonesia mencapai 27,7 persen.

Angka tersebut masih terbilang tinggi sebab Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membuat standar batas maksimal hanya 20 persen.

Sementara itu pemerintah sudah berusaha menekan angka stunting di Indonesia dengan berbagai cara, salah satunya membentuk Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (TP2AK). Namun hingga saat ini angka itu belum juga merosot ke angka maksimal standar WHO.

Lantas apa masalahnya?

Stunting merupakan suatu kondisi kekurangan gizi yang bersifat kronis atau berlangsung dalam waktu lama. Ciri-ciri anak penderita stunting adalah tinggi dan berat badan di bawah standar, rambut kemerah-merahan, dan mengalami gangguan berbicara.

Anak stunting juga mengalami gangguan perkembangan otak dan kecerdasan di bawah rata-rata. Sehingga mereka akan mengalami kesulitan belajar di sekolah. Dampaknya mereka akan sulit mendapat pekerjaan ketika dewasa dan menderita penyakit tidak menular seperti kanker, diabetes, anemia, dan sebagainya.

Stunting erat kaitannya dengan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) yakni sejak anak masih di dalam kandungan hingga berusia 2 tahun.  Penyebabnya saat dalam kandungan anak kekurangan asupan protein.

Ada relevansi antara stunting dengan minimnya pengetahuan masyarakat terkait gizi. Begitu ungkap Direktur Gizi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dr. Doddy Irawan saat saya wawancarai pada Desember 2018.

Ia mengatakan kecukupan gizi energi pada orang normal adalah 2100 Kkal, sementara pada ibu hamil harus ditambah 350 Kkal. Penambahan berat badan ibu harus di antara 12–16 kilogram dan lingkar lengannya tidak boleh kurang dari 23,5 sentimeter.

Kurang dari angka tersebut bisa menyebabkan anak lahir dengan berat badan rendah, panjang lahirnya kurang dari 48 cm dan premature. “Jika seperti itu anak berisiko stunting,” ujar Doddy.

Ia menyayangkan kesadaran masyarakat Indonesia, khususnya kaum perempuan tentang pemenuhan gizi masih sangat rendah. Mereka terbiasa makan seadanya, asal kenyang, tak peduli nutrisi apa yang terkandung dalam menu yang dikonsumsi.