Scroll untuk baca artikel
Blog

Demokrasi Ponokawan

Redaksi
×

Demokrasi Ponokawan

Sebarkan artikel ini
Mata Budaya (5)

BARISAN.CO – Mengapa Ponokawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong) diciptakan dalam pertunjukan wayang kulit. Betapa, melalui penanda pono (mengerti) kawan (friend) pada jamannya, Sunan Jagakali menunjukkan dirinya sebagai dalang multidimensi dalam sikap dan pemikiran.

Bahwa ponokawan adalah dewa nglanglang jagad, dewa turun ke dunia, merupakan awal pemikiran demokrasi. Ponokawan dalam sosok mendunianya adalah rakyat, dan sebagai abdi bangsa. Tutur katanya setara dewa, terutama dalam pengabdiannya memberi pitutur atau nasihat kepada para ksatria Pandawa.

Budayawan Semarang Sujono Satyoputro mengatakan, pada awal pertunjukan Wayang Orang Ngesti Pandawa di Semarang pada 1960-an munculnya ponokawan sangat ditunggu karena pituturnya.

Sehingga penonton justru diam mendengarkan, meski sesekali tertawa oleh dialog bernas dan cerdas antara ponokawan dan satria Pandawa. Itu sebabnya di mula Ngesti Pandawa ponokawan dimainkan oleh para pendiri dan panutan Ngesti: Nartosabdho, Sastrosabdho, Darsosabdho, Siswosabdho.

Itulah nilai-nilai demokrasi dan institusi kebangsaan dalam politik kebudayaan Indonesia. Institusi dan nilai yang merubah segala sendi kehidupan bangsa dan negara, saat politik kebudayaan diganti menjadi politik ekonomi yang berujung pada kapitalisme/­liberalisme di era orde baru hingga reformasi salah arah.

Ponokawan tidak lagi menjadi abdi demokrasi dan guru bangsa, tapi menjadi sekadar banyolan memuakkan.

Jadi mengapa tokoh ponokawan diciptakan dalam kesenian wayang, ialah untuk mewakili sikap dan pemikiran sang dalang. Bagaimana dalam memainkan wayang, dalang tidak sekadar memainkan karakter tokoh-tokoh wayang seperti yang dibabonkan dalam kitab, tapi dalang juga dituntut bagaimana dia memainkan sikap dan pikirannya, melalui watak-watak yang digambarkan dari karakter tokoh-tokoh ponokawan.

Ialah atas pendalaman umaroh, ghoiroh, fitroh, Baqoh — rakyat/penonton menyebutnya Semar, Gareng, Petruk, Bagong.

Demikian, sehingga begitu bedanya saat kita mendengarkan Ki Dhalang Nartosabdho dan dhalang-dhalang di era orde baru hingga reformasi.

Dhalang yang memang keturunan ideologi Sunan Jagakali, dan keturunan Sunan tanpa ideologi, tanpa pemahaman kebangsaan, tanpa penyadaran demokrasi: demokrasi ponokawan pun berubah menjadi demo crazy pornokawan.***