BARISAN.CO – Air merupakan kebutuhan vital bagi umat manusia. Begitupun dengan air minum yang amat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan cairan bagi tubuh. Sayangnya, air di Indonesia masih belum dapat digolongkan baik untuk dikonsumsi.
Menurut website Numbeo, pada bulan Agustus 2021, indeks pencemaran terhadap air di Indonesia berada di angka 61,84. Sementara kemudahan akses air minum berada di angka moderat yakni 53,05.
Angka tersebut bukan angka yang baik mengingat salah satu target SDG ialah mencapai akses air minum yang merata, aman, dan terjangkau bagi semua orang pada tahun 2030.
Dalam konteks pencemaran air, pada tahun 2020, Survei Kualitas Air Minum (SKAM) yang dilakukan oleh Kemenkes bersama sejumlah stakeholder terkait menemukan 7 dari 10 rumah tangga mengonsumsi air dari sarana yang terkontaminasi bakteri Escherichia coli (E.coli).
Menurut Kepala Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakan Doddy Izwardy, Februari silam, tingginya angka kontaminasi E.coli terutama disebabkan oleh pola konsumsi masyarakat yang masih mengandalkan sumur gali dan mata air untuk memenuhi kebutuhan makan dan minumnya.
Menurut catatan yang dihimpun dari Susenas dan Badan Pusat Statistik, masih terdapat 14,35 persen rumah tangga mengonsumsi air dari sumur gali untuk keperluan makan dengan tingkat risiko pencemaran yang ‘tinggi’ hingga ‘amat tinggi’.
Sekitar 10,6 persen rumah tangga mengakses air dari sumur dengan pencemaran tinggi dan 10,26 persen rumah tangga menggunakan mata air dengan pencemaran tinggi.
Pada gilirannya, pola demikian amat memengaruhi fakta adanya 1 dari 3 balita yang mengalami stunting.
“Stunting berhubungan erat dengan sanitasi dan sarana air untuk minum … Inilah kemudian yang menjadi fokus kita semua bahwa bakteri E.coli banyak di sumur tak terlindungi, mata air tak telindungi, serta air permukaan,” papar Doddy.
Kelayakan air minum bagi seluruh rakyat sangat bisa diupayakan. Untuk itu, perlu kebijakan yang segera dapat diimplementasi. Yang paling mendesak di antaranya adalah, pertama, pemerataan infrastruktur di seluruh wilayah untuk peningkatan kualitas air minum di tanah air.
Hari ini, belum adanya sistem infrastruktur pipa air yang terintegrasi menyebabkan tidak meratanya sumber air minum.
Infrastruktur dalam hal ini adalah kunci, dan insfrastruktur yang sehat adalah yang di dalamnya memungkinkan keterbukaan tata kelola. Selain itu, nantinya diperlukan pula pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan yang terintegrasi dengan sistem lain seperti sistem air limbah.
Kedua, secara berkala perlu ada pemantauan standar kualitas air minum dan diteliti ulang agar dapat memenuhi standar kualitas air minum dari WHO.
Terakhir, perlu ada edukasi bagi masyarakat tentang standar kualitas air minum, cara menjaga kualitasnya, sistem sanitasi yang baik, dan berkelanjutan bagi pasokan air minum di setiap keluarga. Edukasi tersebut diharapkan akan mencegah terjadinya kecelakaan ataupun situasi yang membuat pasokan air minum terganggu.
Belum semua orang bisa mengakses air minum yang sehat dan terjangkau adalah fakta yang harus segera diperhatikan secara serius. Ketersediaan terutama harus diprioritaskan bagi mereka yang memiliki kehidupan serba kekurangan.
Barangkali salah satu indikator keberhasilan pemerintah ke depan adalah semakin berkurangnya pemanfaatan air kemasan yang dikelola oleh swasta. Ini menyangkut dengan amanat undang-undang, bahwa air yang terkandung dalam tanah Indonesia harus digunakan untuk memakmurkan seluruh rakyat.
Pada gilirannya, pemerintah diharapkan dapat memberikan terobosan agar semua orang dapat mengakses air minum yang layak secara gratis. [dmr]