Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Akhlak: Merespon Wajah Allah

Redaksi
×

Akhlak: Merespon Wajah Allah

Sebarkan artikel ini

PAGI memang selalu menjanjikan harapan. Seiring cahaya matahari yang mengintip di ufuk, mimpi-mimpi semalam pun buyar dan berhendak mewujud. Merealisasikan mimpi, menyatakan angan, termantapkan saat pagi.

Pagi itu menjanjikan. Setiap kita akan bersiap mengukur ruang, bersafari eksternal. Perjalanan melongok keluar menghimpun dan menawarkan perolehan. Safari eksternal adalah ujud empati sosial kita kepada institusi terkecil, keluarga, hingga meluas, dan terus meluas. Sebuah eksternalisasi keyakinan yang tertanam di kedalaman sanubari.

Safari eksternal berdampak positif, sekira dimulai dengan safari internal yang memadai. Safari eksternal akan menimbulkan ekses yang tidak sehat terhadap lingkung sekitar, jika safari internalnya kedodoran. Safari internal adalah dunia diri, yakni tekad membaja pantang surut menggosok nurani: berkontemplasi, berefleksi, dan berkoeksistensi dengan akhlak karimah kepada siapa dan apa saja.

Suatu  kerelaan menghadirkan Tuhan di mana pun berada, dalam kondisi apa pun, baik suka maupun duka. Perasaan dan pikiran bersambung kepada Allah. Kesadaran yang tak sedetik pun berlepas dari kemahahadiran-Nya. Muhammad Asad melukiskan itu dengan istilah takwa.

Kemudian, totalitas pengabdian pada Allah, mengantarkan sang individu pada rahasia iman. Merasai manisnya iman, nikmatnya beriman. Ia tak lagi canggung atas situasi, lantaran sepenuh hati yakin bahwa Allah berada di balik fenomena. Tiada lagi ketakutan, khawatir, lantaran mengimani bahwa Allah tidak akan tinggal diam. “Sebab, perhatikanlah, semua orang yang berkata, ‘Pemelihara kami adalah Allah,’ dan kemudian berteguh hati mereka tidak perlu takut, dan tidak pula akan bersedih hati.” (Al-Ahqaf [46]: 13).

Totalitas mengabdi, juga mengantar sang penempuh pada aktualisasi diri yang tanpa motif selain perintah Tuhan. Ia kehilangan motif pribadi, bahkan nyaris dalam hidupnya tak punya cita-cita, tak memiliki target atas penghidupan di muka bumi ini. Dalam terminologi Jawa terkenal dengan idiom manunggaling kawula gusti, menyatunya seorang hamba dengan Tuhan, atau mati sajeroning hurip, telah sanggup meninggalkan dunia sebelum meninggal dunia. Fana fi iradatillah, tenggelam dalam kehendak Tuhan.

Muhammad Zuhri, guru sufi dan pengasuh Pesantren Budaya Barzakh yang wafat 2011, dalam buku Langit-Langit Desa bertutur: “Kehidupan adalah kematianmu dari segala damba, bila kesadaranmu telah menggapai makna hidup yang sebenarnya. Maka capailah kematianmu jika hatimu telah rela. Karena mati dan rela satu wujudnya meski dua tampaknya di lorong pikiranmu.”

Sang sufi asal desa Sekarjalak Pati itu menandaskan bahwa hakikat hidup adalah sebuah kematian. Lantaran yang terlihat hanya “wajah Tuhan”, kemauan Tuhan. “Ke mana pun kalian berpaling, di sanalah wajah Allah.” (Al-Baqarah [2]: 115).

Keadaan seseorang yang telah sanggup menyaksikan wajah Allah, persis kondisi orang meninggal. Ia tak akan bersandar dengan apa-apa yang dimiliki. Ia juga tak lagi terpesona oleh apa pun, tidak pula meminta sesuatu pun, dan bahkan tak pernah mengadukan duka pribadinya pada orang lain. Ia telah mendapatkan Tuhan, sehingga segala tindak tanduknya bukan lagi oleh kemauannya sendiri, melainkan perintah Tuhan. “Dan, aku tidak melakukan [tiap-tiap perbuatan] itu berdasarkan kehendakku sendiri.” (Al-Kahfi [18]: 82).

Dengan demikian, sang penempuh dunia diri menyandarkan dalam kesadarannya bahwa hanya Allah Tuhan Yang Maha Agung. Allah Maha Besar, selainnya kecil dan fana. Yang ia saksikan adalah wajah di balik wajah, makna di balik makna. Oleh karenanya, tiada lagi perbuatan yang layak ia lakukan, selain menelaah isyarat-isyarat, berita dan perintah Tuhan di balik benda-benda, fenomena dan peristiwa-peristiwa. Setiap melangkahkan kaki bernilai pengabdian. Bahkan setiap cita, dalam rangka bersaksi bahwa Tuhan itu sungguh ada.