Dalam banyak film di mana polisi menjadi tokoh utama, kita nyaris selalu disajikan satu proporsi yang menarik, bahwa: ada sedikit polisi baik, ada banyak polisi jahat, dan keduanya hidup di dalam sistem penegakkan hukum yang jahat.
Training Day, Serpico, The Untouchables, In the Heat of the Night, ada cukup daftar film bertema demikian, dengan jalan cerita hampir serupa satu dengan yang lain—kecuali The Departed.
Martin Scorsese, sutradara The Departed, secara ajaib mengacak-acak resep film good cop pada umumnya dan itu menjadikan film besutannya ‘seolah’ membuka kenyataan baru.
Saya katakan seolah, sebab sebetulnya film itu menceritakan praktik patgulipat antara polisi dan preman, yang mana itu jamak terjadi di dunia nyata.
Film itu bercerita tentang polisi yang baik, cerdas, dan berprestasi bernama Sullivan (diperankan oleh Matt Damon). Di balik personanya yang serba cemerlang itu, rupanya Sullivan adalah anak angkat mafia yang paling dicari, Costello (diperankan Jack Nicholson). Pada gilirannya, kehadiran Sullivan di tubuh kepolisian ternyata menjadi bottleneck yang menghambat upaya penegakkan hukum terhadap ayah angkatnya itu.
Terdengar tidak asing? Tentu saja. Itu bukan hal baru di dunia ini. Fakta tentang adanya persekutuan polisi dan preman pun sebetulnya tidak cukup untuk membuat kita tersentak kaget. Namun, bukan itu poin terpentingnya.
Kita justru penting bertanya, mengapa selalu terdapat sejumlah polisi yang langkahnya tidak sesuai dengan alasan keberadaan institusi ini di tengah masyarakat. Dulu begitu, sekarang masih begitu.
Saya sedang membicarakan satu-dua polisi tak tahu diuntung yang belakangan muncul dalam pemberitaan. Kompol Y, misalnya, mula-mula adalah Kapolsek yang berprestasi menguak banyak kasus peredaran narkoba. Ia selalu dikenal dengan cara demikian, sampai akhirnya kedapatan positif mengonsumsi barang yang seharusnya terus ia perangi itu.
Dua polisi berikut ini juga sama saja. Satu polisi di Salatiga, Bripka AA, ditangkap karena menyimpan sabu. Satu polisi di Wonogiri, AKP K, juga ditangkap karena sabu. Dari hasil pemeriksaan sementara, barang bukti milik keduanya (9 paket sabu di Salatiga dan 0,7 gram sabu di Wonogiri) merupakan konsumsi pribadi.
Masih ada yang lain? Masih ada yang lain. Yang terbaru ini soal polisi mabuk. Bripka CS, personel Polda Metro Jaya, mabuk di sebuah kafe di Cengkareng, Jakarta Barat, Kamis (25/2/2021). Dalam pengaruh miras ia mengamuk lalu menembak empat orang—tiga di antaranya meninggal.
Kita tentu merasa ganjil kepalang tanggung membaca berita-berita demikian. Di tubuh kepolisian, nama-nama oknum itu menjadi duri di sela gusi. Di mata publik, tampaknya tidak ada hormat tersisa bagi mereka.
Dan jelas rentetan persoalan ini patut dicatat rapi dalam sejarah kepolisian kita. Paling banyak itu menunjukkan bahwa masih ada sikap individu yang gagal berpadu dengan etika institusi yang jamak kita namakan ‘profesional’.
Namun itu tidak melunturkan kepercayaan saya, bahwa, akan tiba masanya banyak polisi menghayati profesionalismenya dalam kerangka amanat. Di masa itu, banyak polisi akan tampak memesona setiap hari, di mana-mana, kepada siapapun, dengan pengayoman yang dilakukannya.
Barangkali masa itu memang belum tercapai sekarang. Tapi saya cukup sabar dan yakin, dengan kesadaran bahwa butuh proses panjang bagi sebuah institusi besar untuk meyakinkan seluruh anggotanya pada nilai-nilai baru, bisa jadi 2024, atau 2029, atau 2045, yang jelas masa itu akan datang. Tunggu saja. []