BARISAN.CO – Anak terkadang tidak dapat lepas dengan handphone dan internet, dengan mudah berselancar di dunia maya terutama tontonan di Youtube. Anak sangat menikmati tontonan video dan bahkan bermain game. Hal ini dapat menimbulkan anak punya idola, biasanya super hero sosok pahlawan.
Melalui tontonan dan permainan itulah kemudian anak terkadang berlebih dalam bersikap. Seperti anak memiliki obsesi yang tinggi dan bahkan fanatisme yang berlebih. Sehingga berdampak pada identitas diri si anak. Perilaku semacam ini bisa menjadi aspek negatif, jika orang tua tidak waspada.
Jangan sampai mengaburkan identitas diri anak, jika anak memiliki idola bisa menjadi hal baik juga hal buruk. Jika sosok idolanya baik, maka bisa menjadi teladan yang baik. Akan tetapi jika idolanya berperilaku buruk, tentu akan berdampak buruk pada perilaku anak. Sebab usia anak adalah usia meniru yang patut diberikan teladan.
Jadi tidak semua yang diidolakan bertabiat baik. Sebagai orang tua terkadang memiliki keresahan semacam ini. Tiba-tiba sang anak memiliki sikap yang berbeda semenjak anak punya idola. Tentu sangat mengagetkan orang tua “kok tiba-tiba sikapnya lain.”
Dampaknya negatif setelah mengalami perubahan, bisa berakibat seperti prestasi sekolah yang menurun, malas belajar dan lain sebagainya. Selain berdampak pada anak, orang tua tentu akan dibikin repot. Bahkan jika anak acapkali meminta hal-hal yang aneh sebagai hero yang diidolakan.
Misalnya saat ini lagi demam artis Korea yang melanda remaja Indonesia atau istilahnya K-Pop. Tentu para remaja yang sudah memiliki idola akan mengubah dirinya baik penampilan modis, gaya hidup dan cara bergaul. Jadi sosok idola tidak hanya terjadi pada anak, namun juga pada remaja.
Psikologi anak
Psikologi sebagai disiplin ilmu pengetahuan, jika anak memiliki idola tentu sangat familiar. Sebab pada usia anak, pembelajarannya yakni dengan meniru. Seperti ketika anak meniru idolanya ketika ia mendapatkan informasi baik melalui televisi, youtube maupun game.
Idola sangat familiar dalam realitas sosial berkait dengan faktor yang memengaruhi pikiran dan perilaku seseorang.
Dalam kamus ilmiah, idola diartikan sebagai sembahan, pujaan, dan sanjungan. Dari pengertian itu, idola digambarkan sebagai aktualisasi diri untuk memuja dan meniru objek tertentu.
Pemujaan hadir bukan semata-mata karena keinginan seseorang. Terkadang pemujaan pada idola terbentuk karena gejala massal yang disebut tren. ‘Tak mengherankan banyak remaja memiliki idola yang secara tak langsung menstimulus motivasi atau sikap yang baik.
Secara psikologis anak usia tujuh-12 tahun berada pada fase concrete operational. Anak dengan mudah terpengaruh oleh apa yang mereka lihat. Itu kemudian bisa menjadi panduan bagi anak dalam bersikap dan berperilaku.
Pada periode itu, perkembangan kognitif anak makin baik sehingga mudah mengingat dan mencontoh berbagai hal menarik serta berperilaku seperti dari apa yang mereka lihat. Seperti tokoh idola anak, mereka cenderung meniru mereka.
Pada fase pertumbuhan, anak dan remaja sering mengidolakan sesuatu atau seseorang, misalnya tokoh film, tokoh kartun, atau selebritas. Tak jarang dari pengidolaan itu anak terobsesi pada tokoh kesayangan dan mengidolakan secara berlebihan.
Sebenarnya tak masalah jika yang diidolakan berdampak positif. Sebaliknya, kesukaan pada idola bisa menimbulkan obsesi dan fanatisme berlebihan. Bahkan mengaburkan identitas diri sendiri.
Penyebab
Ada beberapa penyebab anak obsesif terhadap idola, antara lain kebiasaan sehari-hari, kurang pengawasan, ketidakmampuan orang tua menyediakan diri sebagai model. Faktor itu menyebabkan anak dan remaja mencari tokoh di luar keluarga dan lingkungan primer untuk dijadikan pujaan hati atau idola. Ada pula tren yang selalu berkembang.