Scroll untuk baca artikel
Video

Ancaman Kelaparan di Tengah Ambisi Swasembada Pangan Prabowo Subianto

Redaksi
×

Ancaman Kelaparan di Tengah Ambisi Swasembada Pangan Prabowo Subianto

Sebarkan artikel ini

Ambisi swasembada pangan Prabowo Subianto menghadapi berbagai tantangan serius, dari infrastruktur yang lemah hingga ancaman ketimpangan akses pangan di seluruh wilayah Indonesia

BARISAN.CO – Presiden Prabowo Subianto menghadapi tantangan besar dengan visinya untuk mencapai swasembada pangan Indonesia dalam waktu singkat, yaitu dalam 4-5 tahun ke depan.

Ambisi ini diiringi dengan tantangan yang tidak kecil, terutama terkait ketahanan pangan, kemandirian ekonomi, dan distribusi sumber daya yang memadai.

Dalam berbagai kesempatan, Prabowo mengemukakan bahwa Indonesia harus mandiri dalam pemenuhan kebutuhan pangan.

“Kita tidak boleh bergantung pada sumber makanan dari luar. Dalam krisis, tidak ada yang akan mengizinkan kita membeli dari mereka,” terang Prabowo.

Namun, di balik ambisi besar tersebut, ada ancaman yang tidak bisa diabaikan. Seperti yang disampaikan oleh ekonom Awalil Rizky dalam webinar dengan tema Ancaman Kelaparan di Tengah Ambisi Swasembada Pangan Prabowo Subianto, Selasa (05/11/2024), swasembada pangan bukan hanya soal produksi yang mampu memenuhi konsumsi nasional, tetapi juga mencakup kesejahteraan petani, akses yang merata terhadap pangan, dan ketahanan pangan yang berkelanjutan.

Dalam konteks ini, terdapat beberapa masalah mendasar yang harus diatasi agar cita-cita swasembada pangan tidak berubah menjadi bumerang yang mengancam ketahanan pangan rakyat.

Salah satu faktor utama dalam mewujudkan swasembada pangan adalah kesejahteraan petani. Namun, data menunjukkan bahwa selama beberapa tahun terakhir, kesejahteraan petani di Indonesia masih jauh dari kata memadai.

Kebanyakan petani di Indonesia merupakan petani gurem dengan luas lahan kurang dari 0,5 hektar. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah petani gurem terus bertambah, sementara rata-rata penguasaan lahan semakin sempit​.

Kondisi ini membuat para petani sulit untuk meningkatkan produktivitasnya, terutama tanpa dukungan infrastruktur dan teknologi yang memadai.

Di sisi lain, indeks ketahanan pangan Indonesia berdasarkan Global Food Security Index (GFSI) juga tidak cukup baik, bahkan di bawah rata-rata global.

Ketergantungan pada impor pangan juga semakin meningkat. Pada 2023, impor pangan mencapai 3,06 juta ton dengan nilai sebesar US$1,79 miliar, dan angka ini diperkirakan akan meningkat lagi pada 2024.

Ketergantungan ini menunjukkan bahwa kemandirian pangan masih jauh dari kenyataan, dan swasembada pangan bukanlah perkara yang mudah dicapai dalam waktu singkat.

Program Swasembada Pangan Pemerintahan Prabowo

Untuk mewujudkan swasembada pangan, pemerintah Prabowo telah mencanangkan berbagai program dan alokasi anggaran yang besar.

Anggaran ketahanan pangan dalam APBN 2025 dialokasikan sebesar Rp 139,4 triliun, yang akan digunakan untuk program cetak sawah, pompanisasi, optimasi lahan, rehabilitasi jaringan irigasi, dan dukungan alat mesin pertanian (alsintan).

Langkah ini merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan produksi pangan dan mengurangi ketergantungan pada impor.

Namun, program ini masih harus diuji. Seperti yang disebutkan oleh Awalil Rizky, untuk mencapai swasembada pangan, bukan hanya jumlah produksi yang harus ditingkatkan, tetapi juga kualitasnya.

Penggunaan alsintan dan irigasi saja tidak cukup jika masalah distribusi pangan belum terselesaikan. Masalah distribusi sering kali diabaikan dalam upaya swasembada, padahal ketimpangan distribusi bisa menyebabkan harga pangan tinggi di satu daerah dan kelangkaan di daerah lainnya.

Risiko Kelaparan dan Ketimpangan Distribusi

Ancaman kelaparan masih menjadi bayang-bayang bagi Indonesia. Berdasarkan Global Hunger Index (GHI) 2024, Indonesia memiliki skor kelaparan sebesar 16,9, yang menempatkannya di urutan 77 dari 127 negara.