Menurut UU No 17 Tahun 2019, kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan sumber daya air menjadi milik pemerintah.
Oleh: Yanto, Ph.D
(Dosen Teknik Sipil Universitas Jenderal Soedirman)
KRISIS air mengancam seluruh negara di dunia. Negara-negara berkembang dan terbelakang paling rentan terhadap ancaman krisis air. Indonesia salah satunya.
Pemerintah Indonesia menyadari sepenuhnya ancaman krisis air. Menyambut Forum Air Dunia ke-10 yang mengambil tema “Water for Shared Prosperity” yang akan diselenggarakan di Bali pada 18-24 Mei 2024, wacana ancaman krisis air semakin mengemuka.
Pendapat mayoritas mengatakan ancaman krisis air disebabkan oleh perubahan iklim.
Krisis air dan perubahan iklim memang saling terkait. Namun menempatkan perubahan iklim sebagai sebab utama ancaman krisis air tidaklah tepat. Terutama untuk kepentingan menyelesaikan ancaman krisis air tersebut.
Sebab, akar masalah krisis air bukanlah perubahan iklim. Akar masalah krisis air terletak pada tata kelola pembangunan dan tata kelola sumber daya air.
Apa itu krisis air?
Krisis air adalah kondisi dimana ketersediaan air tidak mencukupi untuk memenuhi standar kebutuhan air. Standar kebutuhan air diukur dengan 4 (empat) parameter yaitu kuantitas, kualitas, kontinuitas dan keterjangkauan.
Jika salah satu parameter tersebut tidak terpenuhi, maka kebutuhan air standar juga tidak terpenuhi. Sebagai contoh, air sungai Ciliwung yang mengalir di Jakarta dapat memenuhi kebutuhan air bersih ditinjau dari kuantitas, kontinuitas dan keterjangkauan, namun tidak dari segi kualitas. Maka air sungai tidak dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan air bersih.
Contoh lain, masyarakat di Desa Doluwala NTT harus berjalan 5 kilometer untuk mendapatkan air dari mata air. Meski mata air layak sebagai sumber air bersih secara kuantitas, kualitas dan kontinuitas, namun tidak layak dari sisi keterjangkauan. Ini adalah krisis air.
Terdapat 2 (dua) jenis krisis air: krisis air secara fisik dan krisis air secara ekonomi. Krisis air secara fisik berkaitan dengan ketidakcukupan kuantitas air. Kondisi geografi dan hidrologi wilayah menjadi faktor penentu krisis air secara fisik.
Krisis air secara ekonomi berkaitan dengan kurangnya investasi untuk membuat air yang ada memiliki kualitas minimum, mudah dijangkau dan tersedia secara kontinu.
Dua contoh tentang air sungai Ciliwung dan mata air di Desa Doluwala termasuk dalam krisis air secara ekonomi. Ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola sumber daya air menjadi faktor utama krisis air secara ekonomi.
Krisis air di Indonesia
Sumber utama air yang dapat dimanfaatkan adalah hujan. Dalam siklus hidrologi air hujan berasal dari air laut yang menguap yang berubah menjadi awan, dipindahkan oleh angin dan turun ke bumi.
Samudera Pasifik merupakan sumber air hujan utama di dunia sehingga perubahan suhu muka air laut di tempat ini dijadikan indikator perubahan iklim.
Negara-negara yang berdekatan dengan Samudera Pasifik memiliki curah hujan yang tinggi. Indonesia, dengan curah hujan tahunan sebesar 2.700 mm menempati urutan ke-9 negara dengan curah hujan tertinggi.
Dengan kondisi tersebut, kuantitas air yang tersedia di Indonesia lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduknya.
Ancaman krisis air terjadi karena hujan lebih banyak terjadi pada musim hujan yaitu antara bulan Nopember hingga April, sementara pada musim kemarau yang terjadi pada periode Mei hingga Oktober, curah hujan relatif rendah.
Di daerah dengan tutupan vegetasi yang baik, air hujan akan tersimpan di dalam tanah, masuk ke akuifer dan keluar ke permukaan dalam bentuk mata air yang kemudian terakumulasi di sungai.
Salah satu tandanya adalah aliran sungai yang relatif tetap baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Di daerah yang tutupan lahannya didominasi oleh permukiman dan persawahan, air hujan akan lebih banyak mengalir di permukaan dan terbuang ke laut lebih cepat.