Sebaliknya pada pembiayaan utang, yang meningkat drastis pada Perpres 72/2020 menjadi sebesar Rp1.220,46 triliun. Dan pada APBN 2021 sebesar Rp1.142,49 triliun. Sebanyak itulah rencana tambahan utang Pemerintah karena pengelolaan APBN.
Penambahan utang memang bisa dimaklumi sebagai dampak pandemi. Namun apakah kebutuhan hingga sebesar itu, merupakan hal lain yang perlu dicermati bersama.
Dalam asesmen atau penilaian juga perlu kejujuran dan konsistensi dari Pemerintah. Jika pada APBN 2019 disebut sifat mandiri berdasar indikator penerimaan perpajakan dan pembiayaan utang, maka demikian pula untuk tahun 2020 dan 2021. Artinya, APBN 2020 dan 2021 bersifat tidak mandiri. Tepatnya, amat bergantung pada utang.
Tentang APBN 2019 yang bersifat Adil, karena APBN digunakan sebagai instrumen kebijakan meraih keadilan, menurunkan tingkat kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan mengatasi disparitas antarkelompok pendapatan dan antarwilayah. Maka dapat dikatakan bahwa berbagai indikator itu bersifat sebaliknya pada APBN 2020 dan 2021.
Sementara penjelasan tentang kondisi aman kala itu merupakan respons atas kritik mengenai posisi dan beban utang. Argumen yang paling banyak dikemukakan adalah keberhasilan menjaga rasio utang atas PDB tetap di kisaran 30%.
Pada akhir Agustus, rasionya telah melonjak menjadi 34,53% dari PDB. Prakiraan rasio berdasar besaran postur dalam Perpres 72/2020 akan mencapai 37,84% pada akhir tahun. Sedangkan berdasar postur APBN 2021, diprakirakan akan mencapai 41,80% pada akhir tahun depan.
Ukuran risiko utang lain yang biasa dipakai banyak negara berupa rasio posisi utang atas Pendapatan Negara.
Pada 2019, posisi utang akhir tahun mencapai 244,14% dari pendapatan pada tahun tersebut. Rasionya diprakirakan mencapai 364,88% pada akhir tahun nanti. Dan melonjak lagi menjadi 423,29% pada akhir tahun 2021. Hal itu seiring dengan (target) Pendapatan yang masih belum bisa ditingkatkan secara signifikan. Berkebalikan dengan pembiayaan utang yang besar.
Kondisi rasio posisi utang atas Pendapatan Negara telah jauh melebihi batas aman di kisaran 92-167% yang direkomendasikan oleh International Debt Relief (IDR). Juga yang direkomendasikan oleh International Monetary Fund (IMF) di kisaran 90-150%.
Ada beberapa indikator keamanan utang yang juga telah mengkhawatirkan, serta tidak sejalan rekomendasi IDR dan IMF. Antara lain berupa rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan dan rasio beban utang (pelunasan dan bunga) terhadap penerimaan.
Tanpa perlu dikemukakan lebih rinci berbagai indikator, telah jelas bahwa utang Pemerintah dalam kondisi tidak aman. Penuh dengan risiko pada tahun 2021 dan tahun-tahun berikutnya. Sebaiknya Pemerintah mengakui secara lebih terus terang, agar dimengerti bersama oleh seluruh komponen bangsa. Tak perlu selalu berkilah dengan rasio atas PDB.
Penulis sangat maklum dan mengerti bahwa Pemerintah sedang menghadapi kondisi keuangan yang sulit, dan mengelola APBN dengan risiko yang tinggi. Namun, pengakuan yang lebih terus terang atas risiko tersebut disertai penjelasan beberapa rincian mesti dilakukan.
Hal itu untuk mencegah agar para oknum yang akan memanfaatkan kondisi sebagai alasan menutupi kesalahan sebelumnya. Dan terutama mencegah para pihak yang justru mengambil keuntungan dari informasi yang asimetris atas kondisi APBN.
Awalil Rizky, Kepala Ekonom Institut Harkat Negeri