Scroll untuk baca artikel
Blog

APBN yang Sakit, Tidak Mandiri, dan Penuh Risiko

Redaksi
×

APBN yang Sakit, Tidak Mandiri, dan Penuh Risiko

Sebarkan artikel ini

Berdasar cara dan ukuran dari Pemerintah dalam menjelaskan sehatnya APBN 2019, maka APBN 2020 dan 2021 tampak tidak sehat. Tepatnya dalam kondisi sakit keras.

Dahulu penjelasan tentang Mandiri beralasan penerimaan perpajakan yang tumbuh signifikan. Dinilai memberikan kontribusi dominan terhadap pendapatan negara serta mengurangi kebutuhan pembiayaan yang bersumber dari utang.

Sayangnya optimisme dan klaim APBN 2019 bersifat mandiri tidak cukup berhasil dalam realisasinya. Penerimaan Perpajakan yang ditargetkan sebesar Rp1.786,38 triliun terealisasi sebesar Rp1.546,14 triliun. Hanya 86,55% dari target. Sedangkan pembiayaan utang justru meningkat dari target sebesar Rp359,25 triliun, meningkat menjadi sebesar Rp402,05 triliun.

Target penerimaan perpajakan pada Perpres 72/2020 hanya sebesar Rp1.404,51 triliun dan APBN 2021 sebesar Rp1.481,94 triliun. Kedua target masih lebih rendah dari realisasi tahun 2019. Bahkan, masih lebih rendah dari realisasi tahun 2018.

Sebaliknya pada pembiayaan utang, yang meningkat drastis pada Perpres 72/2020 menjadi sebesar Rp1.220,46 triliun. Dan pada APBN 2021 sebesar Rp1.142,49 triliun. Sebanyak itulah rencana tambahan utang Pemerintah karena pengelolaan APBN.

Penambahan utang memang bisa dimaklumi sebagai dampak pandemi. Namun apakah kebutuhan hingga sebesar itu, merupakan hal lain yang perlu dicermati bersama.

Dalam asesmen atau penilaian juga perlu kejujuran dan konsistensi dari Pemerintah. Jika pada APBN 2019 disebut sifat mandiri berdasar indikator penerimaan perpajakan dan pembiayaan utang, maka demikian pula untuk tahun 2020 dan 2021. Artinya, APBN 2020 dan 2021 bersifat tidak mandiri. Tepatnya, amat bergantung pada utang.

Tentang APBN 2019 yang bersifat Adil, karena APBN digunakan sebagai instrumen kebijakan meraih keadilan, menurunkan tingkat kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan mengatasi disparitas antarkelompok pendapatan dan antarwilayah. Maka dapat dikatakan bahwa berbagai indikator itu bersifat sebaliknya pada APBN 2020 dan 2021.

Sementara penjelasan tentang kondisi aman kala itu merupakan respons atas kritik mengenai posisi dan beban utang. Argumen yang paling banyak dikemukakan adalah keberhasilan menjaga rasio utang atas PDB tetap di kisaran 30%.

Pada akhir Agustus, rasionya telah melonjak menjadi 34,53% dari PDB. Prakiraan rasio berdasar besaran postur dalam Perpres 72/2020 akan mencapai 37,84% pada akhir tahun. Sedangkan berdasar postur APBN 2021, diprakirakan akan mencapai 41,80% pada akhir tahun depan.

Ukuran risiko utang lain yang biasa dipakai banyak negara berupa rasio posisi utang atas Pendapatan Negara.