Scroll untuk baca artikel
Fokus

[FOKUS] Merencanakan Kota yang Ramah Air

Redaksi
×

[FOKUS] Merencanakan Kota yang Ramah Air

Sebarkan artikel ini

Barisan.co – Bicara mengenai air, tidak bisa bicara hanya di satu tempat dan waktu saja. Menurut ahli hidrologi Yanto Ph.D, penting untuk mengetahui pula bagaimana siklus air. Datangnya dari mana dan akan berada di mana. Sehingga menurutnya jika ada masalah, bisa dicari sumbernya.

“Penyelesaian masalah air tidak bisa hanya pada dampaknya tetapi harus menyelesaikan pada sumbernya. Nah, setiap persoalan akan lebih mudah dicari dari sumbernya. Itu yang harus dikelola bukan pada dampaknya,” papar Yanto dalam acara Mimbar Virtual dengan tema “Pengelolaan Kota Ramah Air”, Selasa lalu (29/9).

Yanto menyampaikan pentingnya mewujudkan kota yang didesain ramah air. Di mana, kota mampu menyimpan air sebanyak-banyaknya sehingga bisa diakses sewaktu-waktu.

“Prinsipnya sebisa mungkin air itu dapat kita manfaatkan sebelum dibuang. Sehingga prosesnya tidak membuang air secepat-cepatnya ke lautan … Dan sistem pencadangan air terbaik, menurut saya harus mengikuti sistem alam yakni disimpan di tanah,” ujar Yanto.

Akademisi Universitas Jenderal Soedirman ini juga menyatakan air akan menjadi lebih baik kualitasnya kalau disimpan di dalam tanah.

“Kenyataannya, tidak semua warga bisa terlayani oleh pelayanan seperti PAM di kota masing-masing. Maka kota harus bisa menyimpan air sebanyak-banyaknya karena itu untuk kepentingan masyarakat.,” jelas Yanto.

Menurut Yanto, sejauh ini, pengelolaan air masih menemukan banyak tantangan. Terlebih dengan melihat bagaimana pembangunan infrastruktur dijalankan. Menurutnya, tidak adanya perencanaan holistik dalam pembangunan diakibatkan oleh jarang dipakainya pendekatan hidrologis mengenai daerah aliran sungai (DAS).

Artinya, pembangunan yang berlangsung selama ini belum melihat prinsip keberlanjutan secara utuh.

“Sekarang kalau mau membangun itu kan izinnya pertama bukan kepada pengelola DAS, tapi kepada pengelola administrasi. Dan itu studinya tidak holistik kepada satu DAS. Sebagai contoh, orang membangun di kawasan puncak, itu kan tidak tanya nanti dampaknya kepada banjir Jakarta seperti apa. Jadi hanya melihat satu aspek saja di lokasi tersebut gitu. Seharusnya ada analisis yang lebih holistik,” kata Yanto.

Pertimbangan tentang DAS kian krusial karena itu berkaitan langsung dengan ketersediaan air. Sebetulnya, pemerintah sudah mencanangkan one river one management, yaitu satu sungai dikelola oleh satu pengelolaan dari hulu sampai hilir.

Pada tahun 1970-an, one river one management diperkenalkan Emil Salim. Konsep ini masih timbul tenggelam sebagai wacana hingga sekarang. Belakangan, konsep ini kembali didengungkan Pemprov Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam upaya mengatasi pencemaran sungai Bengawan Solo.

“Idenya sudah ada, tetapi kembali lagi, implementasinya,” pungkas Yanto.

Penulis: Anatasia Wahyudi