Penelitian ini menjadi menarik jika dikaitkan aturan tilang elektronik di Indonesia. Disebutkan, apabila ada kendaraan melanggar peraturan dan tertangkap CCTV, petugas monitoring room akan merekam dan mencatat nomor plat kendaraan. Pemilik plat kendaraan akan diberi surat tilang dan harus membayar denda via bank dalam jangka waktu tujuh hari.
Kalau sudah membayar denda (berkisar Rp500 ribu), maka pelanggar tidak perlu datang bersidang, dan dengan begitu terbebas dari ancaman penjara sebagaimana Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Denda menjadi lokus utama dalam sistem ini. Patut dipertanyakan lebih jauh, bukankah Rp500 ribu berarti neraka bagi pengendara ojol, tapi uang receh bagi seorang eksekutif yang sedang buru-buru menghadiri rapat pembagian saham?
Polri agaknya perlu lebih komprehensif merumuskan denda tilang elektronik, agar aturan ini tidak menjadi macan ompong di hadapan orang kaya pengemudi mobil mewah. Apalagi, ada penelitian dari University of California Berkeley yang menyebut, bahwa mereka, orang-orang kaya itu, adalah sejenis ‘berengsek’ yang merasa lebih superior dibanding pengguna jalan lain kalau sedang mengemudi.
Diskrepansi statistik penelitian itu menyebut, mobil-mobil mewah terhitung 4 kali lebih berpotensi melanggar aturan di persimpangan jalan dibanding mobil lainnya. Mobil mewah juga jarang memberi kesempatan pejalan kaki untuk menyeberang di perempatan.
Pada gilirannya disimpulkan, orang dengan kedudukan sosio-ekonomi yang mapan, umumnya tidak peduli pada ikatan sosial. Akibatnya, kepentingan pribadi mereka membuatnya memiliki lebih sedikit keraguan untuk melanggar aturan.
Kecenderungan demikian sepertinya tak jauh berbeda dengan Indonesia. Kita dengan gampang menemukan mobil mewah ugal-ugalan melampaui batas kecepatan. Aturan elementer seperti memasang plat nomor, misalnya, pun sering tidak dijalankan pemilik mobil mewah.
Maka, bila asumsi ini benar, bahwa: orang-orang berduit bisa ‘membeli hukum’ tilang elektronik, barangkali Polri bisa menimbang praktik denda progresif di negara-negara Skandinavia.
Pernah ada berita, dikutip dari The Guardian, seorang pengusaha kena denda €54.024 (atau kira-kira Rp700 jutaan) karena ngebut di Finlandia. Di Swiss, seorang pengemudi Ferrari membayar selangit dengan alasan yang sama, dan ia didenda £182.000, atau Rp3,5 miliar kalau diindonesiakan.
Denda besar seperti itu jarang terjadi. Tetapi hukuman yang dihitung berdasarkan pendapatan adalah hal biasa. “Ini adalah tradisi Nordik,” kata seorang penasihat pemerintah Finlandia yang diwawancara.