BARISAN.CO – Hasil kajian yang terbit di jurnal Nature Communication (2019) menyebut Jakarta, dan kota-kota lainnya di tujuh negara Asia, terancam tenggelam pada 2050. Disebut-sebut permukaan laut akan mengalami kenaikan 30 sampai 50 sentimeter karena dampak dari perubahan iklim.
Dalam laporan dikatakan bahwa laut di pesisir Indonesia, Bangladesh, India, dan Filipina akan mengalami kenaikan lima sampai 10 kali lipat pada 2050. Sementara di China kenaikan muka air lautnya tiga kali lipat. Dan di Bangkok, Thailand, 12 kali lipat. Namun dibanding yang lain, Jakarta diramalkan termasuk yang paling cepat tenggelam.
Pada tanggal 12 Mei 2021 lalu, analisis yang sama mencuat kembali dalam riset sebuah firma berbasis Inggris, Verisk Maplecroft. Jakarta, menurut riset itu, tergolong kota yang memiliki risiko bahaya lingkungan terbesar di dunia. Hal itu tidak lepas dari polusi udara yang parah dan kian diperburuk ancaman abadi seperti banjir.
Laporan Verisk Maplecroft juga menyebut kota besar di Indonesia lainnya yang memiliki risiko bahaya lingkungan seperti Surabaya dan Bandung. Dari total 100 kota paling berisiko, Jakarta berada di urutan pertama, Surabaya posisi keempat, dan Bandung peringkat kedelapan.
Jika Jakarta tidak segera berbenah, maka ancaman tenggelam itu bisa menjadi kenyataan. Apalagi, sampai sejauh ini masih marak praktik penggunaan air tanah di wilayah ibu kota yang dilakukan oleh masyarakat hingga gedung-gedung bertingkat, seperti kantor hingga pusat perbelanjaan.
Data Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya tahun 2020 menyebutkan baru 64 persen dari penduduk Jakarta yang memiliki akses air perpipaan. Sisanya masih mengandalkan air tanah yang disedot dengan memakai pompa dan sumur galian. Tak ayal, hal itu mempercepat penurunan permukaan tanah hingga 15 sentimeter setiap tahun.
Di samping itu, Jakarta juga masih dihantui ancaman banjir. Perubahan iklim yang membuat frekuensi hujan ekstrem skala jam atau harian di Jakarta terus meningkat, membuat penanganan banjir di ibu kota kian tidak konklusif.
Beberapa waktu lalu, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan dampak perubahan iklim global menyebabkan frekuensi cuaca ekstrem di Indonesia terjadi makin sering. Dampak perubahan iklim ini, menurut Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, diproyeksikan akan terjadi sampai akhir abad ke-21.
“Kondisi ekstrem saat musim hujan itu akan semakin basah, dan apabila kemarau pun akan semakin kering dan frekuensi kejadian periode ulangnya semakin pendek dan intensitasnya tinggi,” kata Dwikorita di Jakarta.
Dwikorita mencontohkan, dahulu pada medio 1900-1950 butuh rentang 50 tahun untuk Jakarta mengalami curah hujan ekstrem dengan intensitas tinggi 145 mm dalam sehari. Namun sejak tahun 1980, kejadian hujan ekstrem tak perlu menunggu 50 tahun, “Itu bisa terjadi hanya 2-5 tahun.” Kata Dwikorita.
Pemerintah Jakarta perlu segera melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim seperti menerapkan ekonomi sirkular, transisi energi, hingga mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Di sisi lain, upaya yang progresif dalam mengatasi perubahan iklim juga harus dilakukan oleh pemerintah pusat.
Sayangnya, isu perubahan iklim belum menjadi prioritas pemerintah pusat dalam jangka pendek ini. Dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2022 yang sedang disusun Bappenas, porsi perhatian pada isu perubahan iklim hanya diberi 1,6% dari total anggaran yang direncanakan, atau sebanyak Rp9,6 triliun dari total Rp577.7 triliun alokasi prioritas nasional.
Angka tersebut tergolong kecil jika dibanding alokasi prioritas nasional lainnya, semisal rencana pengembangan wilayah Ibu Kota baru sebesar Rp106,2 triliun. Dan jauh lebih kecil jika dibanding alokasi infrastruktur yang mencapai Rp125,7 triliun.