Scroll untuk baca artikel
Blog

Bagaimana Moral Jurnalis dalam Mewartakan Kemiskinan

Redaksi
×

Bagaimana Moral Jurnalis dalam Mewartakan Kemiskinan

Sebarkan artikel ini

Namun sayangnya, hari ini, seperti kita semua tahu, jumlah jurnalis buruk mulai lebih banyak mengalahkan jurnalis bermoral. Jurnalis buruk adalah mereka yang menulis berita dengan buruk, memberi judul-judul yang buruk, dan mengambil sudut pandang yang juga buruk.

Alih-alih mendekatkan diri pada isu-isu penting terkait kemiskinan, mereka lebih tertarik kepada isu yang bombastis di pembahasan tapi kosong di substansi.

Masih ingat dengan kasus Nora Alexandra? Sebuah media pernah memberitakan dirinya dengan judul berikut: “Sudah berbulan-bulan pisah dari Jerinx, kehidupan seks Nora Alexandra dipertanyakan netizen. Duh terus apa jawaban Nora?”.

Nora kemudian menyampaikan protes secara publik. Ia tidak terima dan memang berhak merasa demikian. Memberitakan kehidupan seks istri seorang yang mendekam di penjara tentu saja tidak beres secara moral. Lebih-lebih, jurnalis yang menulisnya tak memberi konfirmasi. Dan, ini yang paling penting: tulisan itu buruk dan tidak bermanfaat.

Pemberitaan media soal harga outfit yang mahal adalah jenis keburukan lainnya. Tema ini memang disenangi atas daya bombastisnya. Tapi, berita tentang artis Nagita Slavina yang pergi berkuda menggunakan boots hingga helm berharga jutaan jelas bukanlah sesuatu yang berguna!

Atau jumlah kekayaan seseorang yang, seakan media mengisyaratkan, bahwa seseorang yang diberitakan tersebut layak digolongkan dengan status sosial tinggi. Hal tersebut mencerminkan seseorang yang dilihat atas material yang dimiliki, bukan berdasarkan kompetensi.

Media seharusnya tidak lagi menitikberatkan sajian sensasi kepada publik melainkan substansi informasi. Masyarakat perlu diajak untuk memberi pemaknaan atas karakter seseorang dengan menggunakan akal sehat, tanpa adanya manipulasi dari pihak luar untuk mengaburkan penilaian.

Jurnalis hari ini memang memprihatinkan. Tapi agaknya ketelitian memilah tema-tema yang bermanfaat bukanlah sesuatu yang mustahil bila diupayakan. Begitupun soal kepekaan terhadap jenis status sosial tertentu.

Mungkin media massa perlu memberi pelatihan kepada jurnalisnya. Bagaimanapun, kemampuan memahami sebuah isu dan kepekaan jurnalis terhadap orang lemah adalah sesuatu yang bernilai yang bisa diajarkan.

Jurnalis-jurnalis yang peka tidak akan sempat menulis berita tentang kekayaan seseorang bila ada saudara atau tetangganya masih kelaparan.

Apalagi, bukankah ironi jika melihat kondisi saat ini di mana orang berbondong-bondong memamerkan hartanya di saat banyak orang lainnya cemas karena kehilangan pekerjaan untuk menyokong hidup keluarganya ataupun mereka yang tidak dapat makan hari ini? Demikianlah kita butuh banyak sekali jurnalis yang peka. []