BARISAN.CO – Banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan pemerintah setelah disahkannya UU Ciptaker. Terutama untuk masyarakat yang berpotensi terkena dampak buruk seperti petani.
Menurut ahli pertanian Universitas Sebelas Maret Dr. Ir. Rofandi Hartanto, sejatinya kebijakan itu mengandung dua sisi mata uang. Dampak positifnya adalah berupa kemudahan investasi di sektor pertanian, mulai dari perkebunan, tanaman pangan, pengolahan hasil, dan perdagangan yang mungkin akan terbantu.
“Dampak negatifnya, dengan adanya investasi yang mensyaratkan kemudahan penggunaan lahan itu, distribusi dalam penggunaan lahan bisa jadi tidak selalu memihak petani. Atau bahkan sama sekali tidak akan memihak petani,” kata Rofandi kepada Barisanco.
Rofandi menuturkan, dalam bidang pertanian lebih memerlukan kebijakan khusus terutama dalam perlindungan serta subsidi. Perlindungan tersebut untuk memberikan contoh karena banyak komoditas pertanian yang sama diproduksi oleh banyak negara.
“Jika tidak dilindungi dengan kebijakan khusus, maka sektor ini tidak bisa bersaing dengan produk yang sama dari negara lain. Sedangkan subsidi masih sangat diperlukan bahkan untuk maksud perlindungan terhadap petani di tanah air,” katanya.
Ia pun juga menyoroti bagaimana sarana produksi (pupuk, pestisida, dan obat-obatan) sering tidak terjangkau oleh petani kecil. Subsidi amat diperlukan petani karena jika tidak, harga jualnya tidak akan sebanding dengan biaya produksi untuk satuan produksi yang sama.
Kebijakan subsidi telah dilakukan oleh negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Jepang.
Dalam sejarahnya, sebelum masa kemerdekaan, karakteristik pertanian di Indonesia sudah berupa lahan-lahan dengan luasan kecil yang sebenarnya mengarah pada pertanian subsisten yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan petani itu sendiri.
“Setelah masa kemerdekaan tidak ada perubahan yang berarti dalam kebijakan pertanian ini untuk bisa menghidupi petani, memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sebagai akibatnya kita selalu terseok-seok, karena di samping produksi terbatas, juga kebijakan yang sering tidak terlalu tepat diambil pemerintah,” tutur Rofandi.
Di Bawah Bayang-Bayang Omnibus Law
Rofandi menyatakan sejak diberlakukannya UU Ciptaker, belum terlihat dampak bagi petani. Tetapi, ia mengingatkan perlu adanya kewaspadaan, misalnya dalam hal masa penggunaan lahan untuk Hak Guna Usaha (HGU) bidang pertanian yang sebelumnya berlaku sekitar 30 tahun, untuk kemudian ditinjau kembali pemakaiannya setelah masa pakai itu.
Dalam aturan baru omnibus law, masa berlaku HGU berubah menjadi sepanjang 90 tahun. Jika tidak jauh dicermati, ini berpotensi membawa bahaya bagi petani karena bisa saja mereka tidak kebagian lahan untuk diolah.